Kamis, 19 Juni 2014

TINJAUAN YURIDIS KEDUDUKAN PERKAWINAN ADAT SEBAMBANGAN MASYARAKAT ADAT LAMPUNG DALAM KAIDAH HUKUM POSITIF INDONESIA



OLEH GUSTYA MARGO WALUYO


BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Hukum Adat adalah sistem hukum yang dikenal dalam lingkungan kehidupan sosial di Indonesia dan negara-negara Asia lainnya seperti Jepang, India, dan Tiongkok. Sumbernya adalah peraturan-peraturan hukum tidak tertulis yang tumbuh dan berkembang dan dipertahankan dengan kesadaran hukum masyarakatnya. Karena peraturan-peraturan ini tidak tertulis dan tumbuh kembang, maka hukum adat memiliki kemampuan menyesuaikan diri dan elastis. Menurut van vollenhoven, hukum adat adalah hukum yang tidak bersumber pada peraturan–peraturan yang dibuat oleh pemerintah hindia belanda dahulu atau alat- alat kekuasaan lainnya yang menjadi sendinya dan diadakan sendiri oleh kekuasaan belanda dahulu.Kebiasaan atau adat  merupakan pencerminan dari kepribadian suatu bangsa dan penjelmaan dari jiwa bangsa. Oleh karena itu setiap bangsa memiliki adat dan kebiasaan sendiri- sendiri yang berbeda satu sama lain, yang mana perbedaaan itu merupakan  unsur penting dalam identitas suatu bangsa. Demikian indonesia, kebiasaan atau adat yang dimiliki oleh daerah- daerah berbeda satu sama  lain, meskipun dasar atau sifatnya adalah satu yaitu keindonesiaanya. Kebiasaaan atau adat bangsa indonesia dapat disebut sebagai bhineka tunggal ika. Demikian pembangunan hukum nasional untuk menciptakan hukum positif pada hakekatnya adalah usaha modernisasi hukum, agar hukum kita dapat seirama mengikuti perkembanagan dan kemajuan zaman. Dalam rangka menciptaka hukum positif harus berakar pada nilai- nilai luhur yang hidup dibumi indonesia ini. Dalam hal ini hukum adat sebagai cerminan nilai- nilai luhur itu sngat relevan sebagai landasan pokok, sumber dan bahan hukum nasional yang akan datang dan menjadi modal utama dalam proses modernisasi hukum.[1]
Sebagaimana yang kita ketahui Indonesia adalah Negara kepulauan yang terletak pada garis khatulistiwa, di antara samudera lautan teduh dan samudera Indonesia. Penduduk yang berdiam dan berasal dari pulau-pulau itu bermacam ragam adat budaya hukum adatnya. Berbeda-beda karena sejarah perkembangan budayanya dari zaman Melayu Polinesia, pergaulan hidup, tempat kediaman dan lingkungan alamnya berbeda. Ada masyratakat yang lebih banyak dipengaruhi tradisi polinesia, ada yang lebih banyak dipengaruhi agama Hindu, Islam, dan Kristen. Dengan lahirnya Republik Indonesia maka terwujudlah satu kesatuan cita dari berbagai masyarakat adat yang berbeda-beda, sehingga menjadi “Bhinneka Tunggal Ika”, wallaupun berbeda-beda menjadi satu kesatuan dalam wadah Negara Pancasila.
Apabila kita sukar untuk menentukan bagaimana ciri-ciri rupa orang Indonesia, begitu pula kita akan sukar mengemukakan bagaimana ciri-ciri hukum perkawinan adat yang berlaku dalam berbagai lingkungan masyarakat adat. Hal mana ditunjukkan oleh berbagai macam alat perlengkapan yang menyertai suatu upacara perkawinan. Dari pakaian mempelai yang serba macam menunjukkan latara belakang hukum perkawinana adat yang berbeda di kalangan masyarakat bangsa Indonesia.
Salah satu        Perkawinan adat yang cukup menarik di Indonesia adalah Kawin sebambangan di daerah provinsi lampung.Seringkali adat ini disebut “kawin lari” membuat banyak orang awam terkecoh, menstigma negatif dan mengganggap perkawinan tersebut bertentangan dengan hukum positif. sesuai dengan ketentuan pasal 320 KUHP ayat (1)
 “(1) Bersalah melarikan wanita diancam dengan pidana penjara; 
1. paling lama tujuh tahun, barang siapa membawa pergi seorang wanita yang belum dewasa, tanpa dikehendaki orang tuanya atau walinya tetapi dengan persetujuannya. dengan maksud untuk memastikan penguasaan terhadap wanita itu, baik di dalam maupun di luar perkawinan; 
2. paling lama sembilan tahun, barang siapa membawa pergi seorang wanita dengan tipu muslihat, kekerasan atau ancaman kekerasan, dengan maksud untuk memastikan penguasaannya terhadap wanita itu, baik di dalam maupun di luar perkawinan.”
Yang tentunya pula bertentangan dengan UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan maupun hukum agama (islam) dikarenakan tidak ada persetujuan wali dan syarat maupun rukun perkawinan yang tidak terpenuhi. Maka untuk itu perlu pemahaman dan kajian lebih lanjut apa definisi yang benar dari Kawin sebambangan agar kita tidak terjebak dan berkesimpulan secara a-priori menyatakan bahwa kawin sebambangan adat lampung adalah sama dengan kawin lari dan apakah Perkawinan adat ini bertentangan atau tidak dengan hukum Positif Tentunya akan menjadi sebuah bahasan yang menarik untuk di telusuri.
Catatan : Hukum agama (islam) tentang perkawinan sendiri sudah di akomodasi oleh UU No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) sehingga penulis tidak akan terlalu dalam mengkaji Pandangan Hukum agama (islam) tentang perkawinan adat sebambangan lampung.
B.  PERUMUSAN MASALAH
1.   Apakah pengertian hukum, adat dan hukum adat,hukum positif,hukum islam,perkawinan dan perkawinan adat?
2.   Apa itu kawin sebambangan dan bagaimana adat kawin sebambangan di daerah lampung ?
3.   bagaimanakah korelasinya perkawinan tersebut dengan Hukum positif   khususnya UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan maupun ketentuan Hukum lainnya ataupun Hukum agama (islam) apakah bertentangan ?
C.  TUJUAN PENULISAN
1.      Memenuhi Tugas Makalah Hukum Adat
2.      Mengetahui dan memahami perkawinan adat sebambangan serta korelasinya dengan ketentuan hukum lainnya
3.      Mensintesiskan suatu konklusi yang jelas dan pasti mengenai topik bahasan yang dibahas.
D.  MANFAAT PENULISAN
Sebagai media pembelajaran pembaca baik secara teoritis maupun praktis sehingga pembaca mampu mengetahui dan mengetahui secara jelas perkawinan adat sebambangan lampung dan dan korelasinya dengan hukum positif maupun hukum agama (islam) secara baik.
E.   METODE PENULISAN
Metode penulisan dengan sendiri dilakukan dengan cara menghubungkan perkawinan adat sebambangan lampung dengan ketentuan hukum postif yang berlaku di Indonesia sehingga menghasilkan sebuah Output (sintesis). Sedangkan pengumpulan data dilakukan dengan telah pustaka melalui yaitu Buku dan internet.












BAB II
PEMBAHASAN

  1. pengertian hukum, adat dan hukum adat,hukum positif,hukum islam,perkawinan dan perkawinan adat.
1.Hukum
Istilah “hukum” di Indonesia berasal dari bahasa Arab qonun atau ahkam atau hukm yang mempunyai arti “hukum”.Beberapa definisi hukum menurut para ahli hukum adalah sebagai berikut.
a.   hukum adalah peraturan yang bersifat memaksa yang diadakan untuk melindungi kepentingan orang dalam masyarakat.
b.   Paul Scholten dalam bukunya Algemeen Deel menyatakan, bahwa hukum itu suatu petunjuk tentang apa yang layak dikerjakan apa yang tidak, jadi hukum itu bersifat suatu perintah.
c.   Menurut Bellefroid, hukum yang berlaku di sesuatu masyarakat bertujuan bengatur tata tertib mayarakat itu dan didasarkan atas kekuasaan yang ada dalam masyarakat itu.
d.   Hukum adalah sebagai rangkaian peraturan-peraturan mengenai tingkah laku orang-orang sebagai suatu anggota masyarakat.
e.   Menurut Mochtar Kusumaatmadha, hukum adalah keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur hubungan manusia dalam masyarakat. Pada panel diskusi V Majelis Hukum Indonesia, beliau mengatakan baha hukum adalah keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat dan juga meliputi lembaga-lembaga, institutions, dan proses-proses yang mewujudkan berlakunya kaidah itu dalma masyarakat sebagai suatu kenyataan.
f.    Hukum adalah petunjuk hidup, perintah, dan larangan yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat, dan seharusnya ditaati oleh masyarakat yang bersangkutan, oleh karena pelanggaran petunjuk hidup tersebut dapat menimbulkan tindakan oelh pemerintah atau penguasa masyarakat itu.
g.   Hukum adalah keseluruhan kumpulan peraturan atau kaidah dalam suatu kehidupan bersama: keseluruhan peraturan tentang tingkah laku yang berlaku dalam suatu kehidupan bersama, yang dapat dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi.
h.   Hukum ialah peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib, pelanggaran mana terhadap peraturan-peraturan tadi berakibat diambilnya tindakan, yaitu dengan hukuman yang tertentu.
i.    Hukum adalah himpunan peraturan hidup yang bersifat memaksa, berisikan suatu perintah, larangan atau perizinan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu serta dengan maksud untuk mengatur tata tertib dalam kehidupan bermasyarakat.
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan, bahwa hukum adalah keseluruhan peraturan atau norma hukum yang mengatur hubungan antara manusia dalam kehidupan bermasyarakat, dan barangsiapa yang melanggar norma hukum dapat dijatuhi sanksi atau dituntu oleh pihak yang berwenang atau oleh pihak yang hak-haknya dirugikan.[2]
2. Adat dan Hukum Adat
Apa yang dimaksud dengan adat ? Istilah  adat  berasal  dari  bahasa  Arab,  yang  apabila  diterjemahkan  dalam Bahasa Indonesia berarti “kebiasaan”.
Adat  atau  kebiasaan  telah  meresap  kedalam  Bahasa  Indonesia,  sehingga hampir  semua bahasa daerah di  Indonesia  telah menganal dan menggunakan istilah tersebut. Adat atau kebiasaan dapat diartikan sebagai berikut :
“Tingkah  laku seseoarang yang  terus-menerus dilakukan dengan cara  tertentu dan diikuti oleh masyarakat luar dalam waktu yang lama”.
Dengan demikian unsure-unsur terciptanya adat adalah :
1.  Adanya tingkah laku seseorang
2.  Dilakukan terus-menerus
3.  Adanya dimensi waktu.
4.  Diikuti oleh orang lain/ masyarakat.
Pengertian  adat-istiadat  menyangkut  sikap  dan  kelakuan  seseorang  yang diikuti  oleh  orang  lain  dalam  suatu  proses  waktu  yang  cukup  lama,  ini menunjukkan  begitu  luasnya  pengertian  adat-iatiadat  tersebut.  Tiap-tiap masyarakat  atau  Bangsa  dan  Negara  memiliki  adat-istiadat  sendiri-sendiri, yang satu satu dengan yang lainnya pasti tidak sama.
Sedangkan Istilah  hukum  adat  sebenarnya  tidak  dikenal  didalam  masyarakat,  dan masyarakat hanya mengenal kata “adat” atau kebiasaan. Adat  Recht  yang  diterjemahkan  menjadi  Hukum  Adat  dapatkah  dialihkan menjadi Hukum Kebiasaan. Lalu Apakah hukum adat itu ? Untuk mendapatkan gambaran apa yang dimaksud dengan hukum adat, maka perlu kita telaah beberapa pendapat sebagai berikut : 
1.  Prof. Mr. B. Terhaar Bzn
Hukum  adat  adalah  keseluruhan  peraturan  yang  menjelma  dalam keputusan-keputusan  dari  kepala-kepala  adat  dan  berlaku  secara  spontan dalam masyarakat.
Terhaar  terkenal  dengan  teori  “Keputusan”  artinya  bahwa  untuk melihat apakah sesuatu adat-istiadat itu sudah merupakan hukum adat, maka perlu melihat  dari  sikap  penguasa  masyarakat  hukum  terhadap  sipelanggar peraturan adat-istiadat. Apabila  penguasa  menjatuhkan  putusan  hukuman  terhadap  sipelanggar maka adat-istiadat itu sudah merupakan hukum adat.
2.  Prof. Mr. Cornelis van Vollen Hoven
Hukum  adat  adalah  keseluruhan  aturan  tingkah  laku  masyarakat  yang berlaku dan mempunyai sanksi dan belum dikodifikasikan.
3.  Dr. Sukanto, S.H.
Hukum  adat  adalah  kompleks  adat-adat  yang  pada  umumnya  tidak dikitabkan,  tidak dikodifikasikan dan bersifat paksaan, mempunyai sanksi jadi mempunyai akibat hukum.
4.  Mr. J.H.P. Bellefroit
Hukum  adat  sebagai  peraturan-peraturan  hidup  yang  meskipun  tidak diundangkan oleh penguasa,  tetapi  tetap dihormati dan ditaati oleh rakyat dengan  keyakinan  bahwa  peraturan-peraturan  tersebut  berlaku  sebagai hukum.
5.  Prof. M.M. Djojodigoeno, S.H.  
Hukum  adat  adalah  hukum  yang  tidak  bersumber  kepada  peraturan-
peraturan.
6.  Prof. Dr. Hazairin
Hukum  adat  adalah  endapan  kesusilaan  dalam masyarakat  yaitu  kaidah-kaidah kesusialaan yang kebenarannya  telah mendapat pengakuan umum dalam masyarakat itu.
7.  Soeroyo Wignyodipuro, S.H.
Hukum  adat  adalah  suatu  kompleks  norma-norma  yang  bersumber  pada perasaan keadilan rakyat yang selalu berkembang serta meliputi peraturan-peraturan  tingkah  laku  manusia  dalam  kehidupan  sehari-hari  dalam masyarakat, sebagaian besar tidak tertulis, senantiasa ditaati dan dihormati oleh rakyat karena mempunyai akibat hukum ( sanksi ).
8.  Prof. Dr. Soepomo, S.H.
Hukum  adat  adalah hukum  tidak  tertulis didalam peraturan  tidak  tertulis, meliputi  peraturan-peraturan  hidup  yang meskipun  tidak  ditetapkan  oleh yang  berwajib  tetapi  ditaati  dan  didukung  oleh  rakyat  berdasarkan  atas keyakinan bahwasanya peraturan-peraturan  tersebut mempunyai kekuatan hukum.
Dari  batasan-batasan  yang  dikemukakan  di  atas, maka  terlihat  unsure-unsur dari pada hukum adat sebagai berikut :
1.  Adanya tingkah laku yang terus menerus dilakukan oleh masyaraka.
2.  Tingkah laku tersebut  teratur dan sistematis
3.  Tingkah laku tersebut mempunyai nilai sacral 
4.  Adanya keputusan kepala adat
5.  Adanya sanksi/ akibat hukum
6.  Tidak tertulis
7.  Ditaati dalam masyarakat[3]
Catatan : definisi Hukum adat berdasarkan pendapat Ter Haar sengaja saya cetak miring dan di tebalkan, karena Perkawinan Adat Sebambangan masyarakat Lampung dapat dikatakan sebagai Hukum Adat karena definisi tersebut (menitikberatkankannys).untuk memahami lebih lanjut mengenai pandangan saya ini. Akan saya jelaskan di bagian Pembahasan Bab B.
3. Hukum Positif
Secara a contrario kita dapat mengambil definisi Dari Hukum adat Prof Soepomo. bila menurut Prof Soepomo Hukum  adat  adalah hukum  tidak  tertulis didalam peraturan  tidak  tertulis, meliputi  peraturan-peraturan  hidup  yang meskipun  tidak  ditetapkan  oleh yang  berwajib  tetapi  ditaati  dan  didukung  oleh  rakyat  berdasarkan  atas keyakinan bahwasanya peraturan-peraturan  tersebut mempunyai kekuatan hukum.
Maka Hukum positif adalah hukum yang tertulis yang mana telah melalui prosedur teknis pembuatan perundang-undangan dan berlaku di tempat dan waktu tertentu ( Ius Constitutum ). Contohnya dalam kajian pembahasan makalah ini adalah UU Perkawinan ataupun UUD 1945.
4.                  Hukum Islam
Hukum islam adalah Hukum yang mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan (Allah) yang disebut ibadah mahdloh, dan hubungan antara sesama manusia dan lingkungannya yang disebut ghoiru mahdloh (muamalah) yang dilandasi oleh/ berdasarkan syariat Islam. Adapun yang dimaksud hukum Islam adalah hukum Islam yang mengatur hubungan antara sesama manusia (muamalah), di antaranya adalah dasar-dasar hukum perkawinan Islam, waris Islam, dan hukum wakaf.[4]
5.                  Perkawinan dan Perkawinan Adat
Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa
Lalu, apa yang sebetulnya dimaksud dengan perkawinan adat? Ini merupakan suatu bentuk hidup bersama yang langgeng lestari antara seorang prian dan wanita yang diakui oleh persekutuan adat. Berkenaan dengan adanya hubungan yang tepat dari topik ini, maka menurut hukum adat pada umumnya di Indonesia perkawinan itu bukan saja berarti sebagai perikatan perdata akan tetapi pula merupakan perikatan adat dan sekaligus merupakan perikatan kekerabatan dan kekluargaan. Artinya bahwa terjadinya suatu ikatan perkawinan bukan semata-mata membawa akibat terhadap hubungan-hubungan keperdataan, seperti hak dan kewajiban suami-isteri, harta bersama, kedudukan anak, hak dan kewajiban orang tua, tapi juga menyangkut hubungan-hubungan adat istiadat, kewarisan keluarga, dan kekerabatan serta menyangkut upacara-upacara adat dan keagamaan. Sebab itu, Imam Sudiyat dalam buku Hukum Adat mengatakan bahwa menurut hukum adat perkawinan biasa merupakan urusan kekerabatan, keluarga, persekutuan, martabak, bisa merupakan urusan pribadi bergantung pada susunan masyarakat ( Imam Sudiyat: 1991: 17 ).
Jadi Perkawinan dalam arti perikatan adat ialah perkawinan yang mempunyai akibat hukum terhadap hukum adat yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Akibat hukum ini telah ada sejak sebelum perkawinan terjadi, yaitu misalnya dengan adanya hubungan pelamaran yang merupakan rasa senak ( hubungan anak-anak, bujang gadis ) dan rasa tuha ( hubungan orang tua keluarga dari pada calon suami istri ). Setelah terjadinya ikatan perkawinan maka timbul hak-hak dan kewajiban orang tua termaksud anggota keluarga , kerabat menurut hukum adat setempat yaitu dengan pelaksanaan upacara adat dan selanjutnya dalam peran serta membina dan memelihara kerukunan, keutuhan dan kelenggengan dari kehidupan anak-anak mereka yang terlibat dalam perkawinan.


  1. Definisi Kawin Sebambangan Adat Lampung dan Tata Cara Pelaksanaannya.
Adat sebambangan, kini tidak sedikit pihak yang memandang negatif, dengan alasan meresahkan orang lain, memaksakan kehendak dan bertentangan dengan hukum. Timbulnya pandangan negatif ini karena sebambangan diartikan sebagai tindakan melarikan (menculik) seorang gadis tanpa sepengetahuan dan persetujuan orang tuanya, serta tidak melalui musyawarah dengan penyimpang adat setempat.
Tindakan itulah yang dipandang bertentangan dengan hukum, kriminal, bahkan melanggar Syariat Islam. Hal ini perlu sedikit koreksi, karena tidak demikian pengertian, maksud dan tujuan sebambangan menurut ketentuan adat Lampung.
Menyimak pendapat sebagian pengamat dan peneliti budaya Lampung, yang diantaranya menyatakan bahwa adat sebambagan sama dengan kawin lari, yaitu melarikan gadis untuk dinikahi tanpa prosedur adat, tanpa sepengetahuan dan persetujuan orang tua, kerabat, termasuk penyimbang adatnya. Akibatnya adat sebambangan dianggap negatif, melanggar hukum dan dicap sebagai tindakan kriminal. Akhirnya citra adat sebambangan ini menjadi buruk dimata masyarakat, terutama pihak yang tidak memahami filosofi dan makna sebambangan sebenarnya. Tapi meski demikian bisa dimaklumi, krn upaya menggali dan memahami hakikat adat budaya lokal secara arif memang tidak mudah. Penelitian awal pendekatan sosial, belum menjamin dapat menjaring data yang benar, lengkap dan akurat. Terlebih data yang diperoleh tidak bersumber dari penyimbang adat pemegang/penglaku pemerintahan adat original yang mengetahui dengan benar syarat dan prosedur adat sebambangan itu. Oleh karenanya lumrah jika informasi yang diperoleh belum menyentuh makna dan tujuan adat sebambangan yang sebenarnya.[5]
Sebenarnya perkawinan Sebambangan adalah adat lampung yang mengatur pelarian gadis oleh bujang ke rumah kepala adat untuk meminta persetujuan dari orang tua si gadis, melalui musyawarah adat antara kepala adat dengan kedua orang tua dari calon mempelai, sehingga diambil kesepakatan dan persetujuan antara kedua orang tua tersebut. sebambangan
Berbeda dari istilah Kawin Lari yang dapat diartikan sebagai pelarian gadis oleh seorang bujang yang biasanya dapat langsung terjadi pernikahan tanpa ada musyawarah adat atau persetujuan orang tua si gadis, hal ini tentu bertentangan dengan Syariat Islam.
Lain halnya dengan Sebambangan yang sengaja diatur oleh hukum adat serta perangkat adat, yang memang diatur untuk tidak bertentangan dengan Syariat Islam. Sebambangan dapat juga di artikan untuk memberikan kebebasan kepada bujang atau gadis untuk dapat memilih jodohnya sendiri.
adat sebambangan
Peraturan Ngebambang
Hal-hal yang diatur dalam Ngebambang adalah sebagai berikut:
  1. Gadis dilarikan oleh bujang (meskipun dalam satu kampung atau dekat rumahnya) ke rumah Kepala Adat si bujang. Dalam melarikan itu si bujang biasanya dibantu oleh beberapa orang dari keluarga si bujang dengan secara rahasia, sedang perempuan jika jaraknya jauh (keluar kampung) biasanya membawa kawan gadis yang dinamakan “Penakau”.
  2. Ketika gadis itu akan pergi, harus meninggalkan uang yang diberi oleh si bujang tersebut sebanyak yang diminta oleh si gadis yang dinamakan ”Pangluahan” (pengeluaran), dan meninggalkan surat sebagai isyarat bahwa si gadis telah pergi “Nyakak” (dilarikan oleh si bujang).
  3. Sesampainya gadis di rumah Kepala Adat kelompok bujang, pihak keluarga bujang melakuakn pemberitahuan, sambil membawa uang sebesar beberapa rupiah kepada Kepala Adat pihak perempuan yang dinamakan “Uang Penekhangan”.
  4. Jika gadis sudah berada di rumah Kepala Adat kelompok bujang, maka gadis tesebut diberi perlindungan dan tidak boleh diganggu gugat oleh keluarga si gadis atau untuk diambil kembali. Jika terjadi pengambilan kembali sebenarnya telah melanggar adat. Lama gadis itu berdiam dirumah Kepala Adat si bujang, biasanya menurut hitungan hari ganjil, yaitu 1, 3, 5, atau 7 hari (malam).
  5. Biasanya keluarga si gadis menurut adat akan mencari anak gadisnya (meskipun sudah tahu) ketempat di mana bunyi surat anaknya menunjukkan ia dilarikan bujang, ini dinamakan ”Nyussui Luut” (mencari jejak). Hal itu dilakukan dalam jangka paling lama 7 malam (jika tempat si gadis dan si bujang berjauhan).
  6. Jika dalam tempo 7 malam keluarga si gadis tidak mencari anaknya (nyussul luut), maka keluarga bujanglah yang datang ke rumah si gadis menerangkan kesalahan-kesalahan karena melarikan anaknya. Biasanya keluarga si gadis akan menuntut denda atas pelarian anaknya (sebenarnya permintaan denda tersebut sebagai istilah atau basa-basi saja, karena denda tersebut akhirnya akan kembali juga kepada kedua mempelai, baik digunakan untuk hajatan "manjau pedom" (pesta pernerimaan tamu dari pihak si bujang lepas perkawinan) maupun digunakan untuk pembeli alat-alat rumah tangga sebagai banatok (perabot rumah tangga yang dibawa oleh pengantin wanita (Maju).
  7. Jika perundingan antara kedua keluarga pihak bujang dan si gadis telah cukup maka ditentukanlah waktu perkawainan (aqad pernikahan).[6]
Sesungguhnya Masyarakat adat lampung bukan tidak mengenal cara-cara lain yang mengantarkan jalinan kasih mereka ke pelaminan. Seperti melalui pelamaran dan sebagainya. Namun bagi sebagian orang sebambangan merupakan cara atau pilihan terbaik dalam mengantarkan cinta mereka kejenjang pernikahan. Ada beberapa alasan mereka kenapa harus melalui sebambangan yaitu;
A.    untuk mengatasi permasalahan cinta yang kurang mendapat restu dari orang tua.
B.     sebagai jalan alternatif dan tercepat yang mengantarkan rasan ke jenjang pernikahan.
C.     untuk menghormati dan menghargai rasa cinta itu sendiri karena cinta merupakan hak dasar yang dimiliki oleh setiap orang.[7]
Jadi bilamana kita secara gamblang telah mengetahui apa bagaimana  perkawinan adat sebambangan masyarakat daerah lampung maka kita dapat dikatakan kalau pengertian Perkawinan adat Sebambangan masyarakat lampung dapat dikatakan Telah menjelma menjadi Hukum adat setempat.
Saya menyimpulkan demikian karena Term dari Perkawinan adat Sebambangan lampung  yakni adalah adat lampung yang mengatur pelarian gadis oleh bujang ke rumah kepala adat untuk meminta persetujuan dari orang tua si gadis, melalui musyawarah adat antara kepala adat dengan kedua orang tua dari calon mempelai, sehingga diambil kesepakatan dan persetujuan antara kedua orang tua tersebut. Bila kita hubungan melalui ajaran Ter Haar tentang teori keputusan bahwasannya Hukum  adat  adalah  keseluruhan  peraturan  yang  menjelma  dalam keputusan-keputusan  dari  kepala-kepala  adat  dan  berlaku  secara  spontan dalam masyarakat. Maka Adat dapat dikatakan hukum adat bilamana Adat itu menjelma dari keputusan Adat ( baik dari kepala adat maupun musyawarah adat ) serta menimbulkan akibat hukum.seperti yang telah kita ketahui bahwa dalam perkawinan sebambangan baru diakui sebagai perkawinan yang sah bilamana telah di putus oleh kepala adat maupun dari musyawarah adat yang berujung pada akad nikah sesuai ketentuan agama. Maka ketersahan Perkawinanan itulah akibat hukumnya.
Setelah kita mengetahui secara jelas apa itu perkawinan adat sebambangan lampung dan menyimpulkan bahwa adat tersebut telah menjelma menjadi Hukum adat. Maka kita akan mengkorelasikannya dengan Hukum positif. Apakah Perkawinan tersebut bertentangan dengan kaidah hukum positif dan bagaimanakah kedudukan perkawinan adat tersebut dalam tata hukum nasional kita ?. untuk itulah mari kita menuju ke Pembahasan Bab C.
C . Tinjauan Yuridis Kedudukan Perkawinan adat sebambangan Lampung menurut Hukum Positif
Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Jadi unsur-unsurnya adalah
·          Ikatan lahir batin
·         Antara seorang pria dengan seorang wanita
·         Sebagai suami-istri
·         Dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal
·         Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa
Lalu kita bandingkan dengan pengertian Perkawinan sebambangan. perkawinan Sebambangan adalah adat lampung yang mengatur pelarian gadis oleh bujang ke rumah kepala adat untuk meminta persetujuan dari orang tua si gadis, melalui musyawarah adat antara kepala adat dengan kedua orang tua dari calon mempelai, sehingga diambil kesepakatan dan persetujuan antara kedua orang tua tersebut.
Jadi perkawinan sebambangan Pada dasarnya hanya merupakan prosesi sebuah perkawinan dengan Nuansa adat dikarenakan tujuan tertentu sehingga berbeda dengan prosesi perkawinan pada umumnya. Ada beberapa alasan mereka kenapa harus melalui sebambangan yaitu;
·         untuk mengatasi permasalahan cinta yang kurang mendapat restu dari orang tua.
·         sebagai jalan alternatif dan tercepat yang mengantarkan rasan ke jenjang pernikahan.
·         untuk menghormati dan menghargai rasa cinta itu sendiri karena cinta merupakan hak dasar yang dimiliki oleh setiap orang.
Pada prosesi terakhir perkawinan sebambangan ini yaitu Jika perundingan antara kedua keluarga pihak bujang dan si gadis telah cukup maka ditentukanlah waktu perkawinan (aqad pernikahan). Maka disaat akad nikah itulah perkawinan antara keduanya dianggap sah menurut agama artinya status mereka telah diakui sebagai suami istri. Dalam hal ini rukun pernikahan ada lima, yaitu: suami, istri. Wali, dua orang saksi, dan kalimat pernikahan (ijab dan qabul).
1.   Calon suami dan syaratnya
Bagi calon suami disyaratkan: tidak dalam keadaan berihram, tidak atas paksaan, orangnya telah ditentukan dengan jelas, mengerti calon istri sebagai perempuan yang halal dinikahi (bukan mahram). Maka tidaklah sah akad nikah oleh:
a.   Muhrim, meskipun diwakilkan (kepada orang yang tidak sedang berihram)
b.   Orang yang dipaksa
c.   Orang yang belum ditentukan dengan jelas
d.   Orang yang belum mengerti bahwa calon istrinya halal dinikahi (tidak bersuami/ dalam masa iddah).
2.   Calon istri dan syaratnya
Adapun syarat bagi calon istri, adalah:
a.   Tidak berstatus sebagai istri (laki-laki lain)
b.   Tidak dalam masa iddah
c.   Jelas orangya
d.   Tidak semahram (dalam nasab atau persaudaraan)
3.   Wali dari calon pengantin perempuan
Untuk menjadi wali nikah, seseorang harus memnuhi beberapa syarat yaitu: laki-laki, dewasa, waras akalnya, tidak dipaksa, adil, dan tidak sedang ihram haji.
4.   Saksi dan syaratnya
Sedang syarat dua orang saksi, yaitu: laki-laki, ‘adalah (muslim mukallaf yang tidak fasik), tidak tuli, tidak bisu, tidak buta, bebas (tidak dipaksa), tidak sedang ihram haji dan memahami bahasa yang diucapkan dua orang yang berakad (ijab dan qabul), dan tidak berperan sebagai wali.
5.   Ijab dan Qabul
Akad nikah ialah rangkaian ijab (penyerahan) yang diucapkan oleh wali dan qabul (penerimaan yang diucapkan oleh mempelai pria atau wakilnya disaksikan oleh dua orang saksi.[8]
Bandingkan dengan ketentuan syarat-syarat perkawinan menurut UU Perkawinan
Pasal 6
(1) Perkawinan didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.
(2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
(3) Dalam hal seorang dari kedua orang tua meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya,  maka  izin  yang dimaksud  ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.
(4) dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin  diperoleh dari wali  orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan  darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan menyatakan kehendaknya.
(5) Dalam hal ada perbedaan antara orang-orang yang dimaksud dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal  ini, atau salah seorang atau  lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan  dalam daerah tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas  permintaan orang tersebut  dapat memberikan ijin  setelah lebih dahulu mendengar orang-orang yang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) dalam pasal ini.
(6) Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukun masing-masing agamanya dan  kepercayaannya itu  dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.
Pasal 7
(1) Perkawinan hanya diizinkan bila pihak pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 (enam belas) tahun.
(2) Dalam  hal penyimpangan  dalam ayat (1)  pasal ini  dapat minta dispensasi kepada Pengadilan  atau  pejabat lain yang diminta  oleh kedua  orang tua pihak  pria atau pihak wanita.
(3) Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang  tua  tersebut pasal 6 ayat (3) dan (4) Undang-undang ini, berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi tersebut ayat (2) pasal ini dengan tidak mengurangi yang dimaksud dalam pasal 6 ayat (6).
Catatan : Pasal yang saya tebalkan tulisannya adalah titik beratnya,artinya dalam hal perkawinanan Sebambangan sebagai landasan hukum yang paling utama diantara pasal lainnya
Sebenarnya Bila pada prosesi akad nikah Terpenuhi rukun-rukun perkawinan sebagaimana ketentuan Hukum Agamanya (islam) maka perkawinan tersebut tidak bertentangan dengan hukum agama (islam).maupun Hukum Positif,kenapa pula dikatakan tidak bertentangan dengan hukum positif dalam hal ini Berkaitan dengan UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Bersandar pada ketentuan pasal Pasal 2 ayat (1) UUP
(1) Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.
Namun tentunya tetap saja perkawinan sebambangan belum sah secara Hukum. Sah secara hukum bilamana perkawinan itu telah dicatatkan di KUA.
Pasal 2 UUP
(2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sebagaimana yang telah ketahui sebelumnya bahwa dalam adat sebambangan yang sebenarnya, tidak ada unsur pemaksaan atau melarikan secara sepihak oleh bujang terhadap Gadis, melainkan dilakukan atas kesepakatan bersama, bahkan (meski rahasia) disetujui dan seizin orang tua pihak gadis. Tentu fenomena ini telah disadari bersama bahwa jika melalui adat perkawinan jujur (pelamaran) memerlukan waktu, tenaga, biaya dan sarana yang mahal, maka dengan sebambangan kelemahan itu dapat dihindari. Hal ini justru menjadi sumber motivasi bagi kedua-belah pihak untuk melakukan silaturahmi, musyawarah, berdamai untuk mencapai kesepakatan dan solusi yang meringankan.
Karena tidak ada paksaan dan Perkawinan Sebambangan bukanlah “kawin lari” sebagaimana yang di bilang orang banyak ( orang awam ) Jadi gugurlah  ketentuan pasal 320 KUHP ayat (1) berbunyi sebagai berikut.
 “(1) Bersalah melarikan wanita diancam dengan pidana penjara; 
1. paling lama tujuh tahun, barang siapa membawa pergi seorang wanita yang belum dewasa, tanpa dikehendaki orang tuanya atau walinya tetapi dengan persetujuannya. dengan maksud untuk memastikan penguasaan terhadap wanita itu, baik di dalam maupun di luar perkawinan; 
2. paling lama sembilan tahun, barang siapa membawa pergi seorang wanita dengan tipu muslihat, kekerasan atau ancaman kekerasan, dengan maksud untuk memastikan penguasaannya terhadap wanita itu, baik di dalam maupun di luar perkawinan.”
Secara harfiah dan tata caranya yang sudah saya jelaskan sebelumnya jelas sekali; 'sebambangan' adalah 'sangat berbeda' dengan kawin lari Sebambangan hanyalah suatu proses membawa gadis (secara rahasia) kerumah pemangku adat, agar terjadi musyawarah, sebelum akad nikah. dan bukan melarikan si gadis untuk di nikahi tanpa persetujuan kedua orang tua. Jadi sepanjang rukun-rukun Perkawinan maupun syarat-syarat perkawinan Hukum agama maupun Hukum positif terpenuhi maka perkawinan adat sebambangan tidak bertentangan dengan hukum Positif (UUP).
Jadi kedudukan Perkawinan adat sebambangan lampung bilamana sesuai dengan tata cara pelaksanaan sebagaimana mestinya menurut ketentuan UUD 1945

Pasal 18B
 (2)  Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.
Dapat saya simpulkan bahwasanya Perkawinan adat sebambangan tidaklah bertentangan dengan ketentuan UU Perkawinan. maka bilamana itu sesuai dan tidak bertentangan dengan kaidah hukum positif (Ius Constitutum) wajiblah di hormati kedudukannya dan ditempatkan atau di akomodasi kedalam tatanan Hukum positif kita. 













BAB III
PENUTUP

A.  KESIMPULAN
Dalam persepsi masyarakat awam perkawinana adat sebambangan diidentikkan dengan “kawin lari” padahal bila kita telaah lebih lanjut tidaklah sebagaimana apa yang orang awam kira. Perkawinan sebambangan adalah adalah adat lampung yang mengatur pelarian gadis oleh bujang ke rumah kepala adat untuk meminta persetujuan dari orang tua si gadis, melalui musyawarah adat antara kepala adat dengan kedua orang tua dari calon mempelai, sehingga diambil kesepakatan dan persetujuan antara kedua orang tua tersebut. Jauh dari term “kawin lari” sebagaimana yang didentikan orang banyak. Inilah yang membuat masyarakat awam langsung secara a priori berpandangan negatif malahan dianggap Perkawinan adat sebambangan melanggar ketentuan Hukum Pidana Pasal 320 KUHP.
Bila prosesi atau tata cara perkawinan adat sebambangan dilakukan secara sebagaimana yang saya bahas maka tentulah perkawinan adat sebambangan tidak bertentangan dengan hukum positif ataupun hukum agama(islam) secara yuridis bila kita hubungkan dengan ketentuan pasal Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan
(1)   Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.
Maka tidak ada alasan mengatakan bahwa Perkawinan adat Sebambangan bertentangan dengan hukum positif malahan justru seharusnya perkawinan adat sebambangan   harus di lestariakan dan diangkat kedudukannya dalam hukum positif.




DAFTAR PUSTAKA

http://waysemaka.blogspot.com/2014/01/adat-lampung-sebambangan.html
  diakses pada 10 juni 2014.
M. Afnan Chafidh dan A. Ma’ruf Asrori,2006.Tradisi Islami panduan prosesi 
    kelahiran-perkawinan-kematian,Surabaya : Khalista.
Sudiyat, Imam. 1981 , Asas – Asas Hukum Bekal Pengantar , Liberty, Yogyakarta.
Ragawino,Bewa.2007.Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat.Bandung : Universitas 
     Padjajaran.
Sugiarto, Umar Said .2013.Pengantar Hukum Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika.



[2]     Umar Said Sugiarto, Pengantar Hukum Indonesia, (Jakarta, Sinar Grafika, 2013), hlm 6
[3] Ragawino,Bewa.Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat.Bandung : Universitas Padjajaran.hlm 2-6.
[4]     Umar Said Sugiarto, op. cit.. hlm 198
[8] M. Afnan Chafidh dan A. Ma’ruf Asrori, Tradisi Islami panduan prosesi kelahiran-perkawinan-kematian, (Surabaya, Khalista, 2006), h. 35