OLEH GUSTYA MARGO WALUYO
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Pengertian Lingkungan hidup adalah
kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup termasuk
manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan
perikehidupan, dan kesejahteran manusia serta makhluk hidup lainnya. Lingkungan
hidup erat kaitannyan dengan pengelolaam lingkungan hidup.
Dalam
berbagai aturan, pengelolaan lingkungan hidup sering didefinisikan sebagai
upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan
penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan dan
pengendalian lingkungan hidup. Pelaksanaannya dilakukan oleh instansi
pemerintah sesuai dengan bidang tugas dan tanggungjawab masing-masing,
masyarakat, serta pelaku pembangunan lainnya dengan memperhatikan keterpaduan
perencanaan dan kebijakan nasional pengelolaan lingkungan hidup. Sektor
lingkungan hidup oleh para perencana dan pelaku pembangunan masih kurang
diperhatikan dibandingkan bidang ekonomi misalnya. Hal ini sesungguhnya
mempengaruhi tujuan pembangunan berkelanjutan.
Dalam
Undang-undang nomor 32 tahun 2009 dalam pasal 13 tercantum bahwa pengedalian
pencemaran dan / atau kerusakan lingkungan hidup dilaksanakan dalam rangka
pelestarian fungsi lingkungan hidup. Pengedalian pecemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup ini terdiri dari 3 hal yaitu : pencegahan, penanggulangan dan
pemulihan lingkungan hidup dengan menerapkan berbagai instrument-instrument
yaitu : Kajian lingkungan hidup straegis (KLHS); Tata ruang; Baku mutu
lingkungan hidup; Kriteria baku mutu kerusakan lingkungan hidup; Amdal;
UKL-UPL; perizinan; instrument ekonomi lingkungan hidup; peraturan
perundang-undangan berbasis lingkungan hidup; anggaran berbasis lingkungan
hidup; Analisis resiko lingkungan hidup; audit lingkungan hidup, dan instrument
lain sesuai dengan kebutuhan dan /atau perkembangan ilmu pengetahuan.[1]
Namun adakalanya dalam implementasi pengelolaan
lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan penataan, pemanfaatan, pengembangan,
pemeliharaan, pemulihan, pengawasan dan pengendalian lingkungan hidup, dalam
kenyataan praktik belum dapat dikatakan sepenuhnya berjalan dengan baik.
Manusia yang berpandangan sentralistik selalu menganggap bahwa mereka
adalah satu-satunya makhluk yang menjadi pusat kehidupan dan beranggapan bahwa
lingkungan ( komponen yang tersususan baik yang biotik maupun yang abiotik )
adalah diperuntukan bagi hajat hidup mereka sendiri ( antroposentris ).
Perilaku
seperti inilah yang mengakibatkan terjadinya aktifitas manusia yang bertendensi
kepada perusakan lingkungan hidup dan kerusakan lingkungan hidup ,Dalam
pemenuhan kebutuhannya. Definisi perusakan lingkungan hidup sendiri adalah
menurut UUPPLH { Pasal 1 butir 16 } ialah:
“Perusakan lingkungan hidup adalah tindakan orang yang
menimbulkan perubahan langsung atau tidaklangsung terhadap sifat fisik, kimia,
dan/atau hayati lingkungan hidup sehingga melampaui kriteria baku kerusakan
lingkungan hidup.”
Sedangkan
definisi kerusakan lingkungan hidup menurut UUPPLH
{Pasal 1 butir 17 } ialah:
“Kerusakan lingkungan hidup adalah perubahan langsung
dan/atau tidak langsung terhadap sifatfisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan
hidup yangmelampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup,”
Menilik
masalah mengenai perusakan lingkungan hidup maupun kerusakan lingkungan hidup hampir dipastikan ulah
manusia sebagai tingkah laku aktifitasnya menjadi penyebab utama. Seperti
Pencemaran Sungai Citarum yang menjadi Topik analisis kasus dalam makalah ini.
Masalah Sungai
Citarum, hingga kini belum selesai. Pencemaran
air di ambang batas, membawa Citarum, mendapat predikat salah satu sungai
tercemar di dunia. Pencemaran air sungai citarum lebih didominasi oleh
limbah pabrik dan sampah... Pencemaran sungai citarum diakibatkan oleh
meningkatnya jumlah penduduk otomatis sampah yang dihasilkan semakin banyak.
Selain karna meningkatnya jumlah sampah juga dikarenakan semakin sempitnya
bahkan semakin berkurangnya lahan untuk digunakan sebagai tempat pembuangan
sampah. Tidak adanya lahaan disebabkan oleh lahan yang ada digunakan dan
dimanfaatkan sebagai areal perumahan maupun gedung-gedung sehingga banyak
sampah yang sengaja dibuang di sungai dan tertimbun di dalam tanah.
Menurut data dari
Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS), Kawasan lindung
di hulu Sungai Citarum seharusnya 178.394,74 hektar (52%). Namun, tinggal
68.617 hektar atau 20%. Total luas Citarum hulu 343.087 hektar. Daerah resapan
air tersisa tak lebih 50.000 hektar dari yang seharusnya 39 ribu hektar.
Citarum tercemar limbah domestik 50%, industri 40%, peternakan 8% dan pertanian
2%. Saat musim hujan, banjir melanda. Genangan lebih dari tiga ribu hektar.[2]
Sungai citarum yang
secara geografis berada di daerah padat penduduk menjadi dilema tersendiri, di
satu sisi kepadatan penduduk memjadi penyebab utama di sisi lain membawa akibat
yang pula bagi masyarakat sekitar. Maka perlu sebuah pengkajian secara
komprehensif melalui intrumen lingkungan hidup baik dalam hal
identifikasi/analisis Lingkungan Sebagai data primer baik pengembangan pola
penanganan preventif dan penanganan Represif.
B. PERUMUSAN MASALAH
1. Apa itu sungai citarum dan Bagaimana perkembangan informasi
terkini maupun terdahulu mengenai Keadaan sungai Citarum ?
2. Bagaimana Analisis Kasus tersebut dari kacamata Hukum Lingkungan
Khususnya melalui UUPPLH No.32 Tahun 2009 maupun ketentuan hukum lainnya dan bagaimana
solusi penyelesaiannya ?
C. TUJUAN PENULISAN
1. Memenuhi tugas Hukum Lingkungan
2. Menganalisis Kasus pencemaran ini sebagai relasi pembelajaran
Hukum Lingkungan
3. Untuk mengetahui pola penyelesaian kasus pencemran secara aplikasi
yuridis yaitu melalui intrumen Hukum
D. MANFAAT PENULISAN
Sebagai media
pembelajaran pembaca baik secara teoritis maupun praktis sehingga pembaca mampu
mengetahui dan mengetahui kaidah-kaidah penyelesaian sengketa lingkungan secara
baik.
E. METODE PENULISAN
Metode penulisan
adalah dengan metode analisis deduktif di mana ketentuan hukum rasio logis seperti peraturan
perundang-undangan menjadi premis mayor sedangkan kasus pencemaran sungai
citarum sebagai premis minor yang nantinya mensintesiskan/ mengkonklusikan simpulan-simpulan
yang preskriptif. Pengumpulan data sendiri diperoleh dari koran, buku dan
internet dengan kata lain melalui cara telaah kepustakaan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sekilas Sejarah
mengenai Sungai Citarum dan Perkembangannya
Citarum: Sekilas Sejarah
Kata Citarum berasal
dari dua kata yaitu Ci dan Tarum. Ci atau dalam Bahasa Sunda Cai, artinya air.
Sedangkan Tarum, merupakan sejenis tanaman yang menghasilkan warna ungu atau
nila. Pada abad ke-5, berawal hanya dari sebuah dusun kecil yang dibangun di
tepi sungai Citarum oleh Jayasinghawarman, lambat laun daerah ini berkembang
menjadi sebuah kerajaan besar, yaitu Kerajaan Tarumanegara, kerajaan Hindu
tertua di Jawa Barat. Dari dahulu hingga sekarang, Citarum memainkan peranan
yang sangat penting bagi kehidupan manusia, terutama masyarakat di Jawa Barat.
Dahulu kala, Citarum menjadi batas wilayah antara dua kerajaan yaitu Kerajaan
Galuh dan Kerajaan Sunda (pergantian nama dari Kerajaan Tarumanegara pada tahun
670 Masehi). Fungsi Citarum sebagai batas administrasi ini terulang lagi pada
sekitar abad 15, yaitu sebagai batas antara Kesultanan Cirebon dan Kesultanan
Banten.[3]
Citarum sungai
terpanjang dan terbesar di propinsi Jawa barat. Dan sangat mempengaruhi
kehidupan masyarakat disekitarnya. Pemanfaatan sungai Citarum sangat bervariasi
dari hulu hingga hilir dari yang memenehui kebutuhan rumah tangga, irigasi,
pertanian, peternakan dan Industri. Dengan perkembangan industri di Sepanjang
DAS citarum dan tidak terkelolanya limbah industri merupakan salah satu
penyebab pencemaran sungai.
Keadaan lingkungan
sekitar Ci Tarum telah banyak berubah sejak paruh kedua dasawarsa 1980-an. Industrialisasi
yang pesat sejak akhir 1980-an di kawasan sekitar sungai ini telah menyebabkan
menumpuknya limbah buangan pabrik-pabrik di Ci Tarum.
Setiap musim hujan
wilayah Bandung Selatan di sepanjang Ci Tarum selalu dilanda banjir. Setelah
kejadian banjir besar yang melanda daerah tersebut pada tahun 1986, pemerintah
membuat proyek normalisasi sungai Ci Tarum dengan mengeruk dan melebarkan
sungai bahkan meluruskan alur sungai yang berkelok. Tetapi hasil proyek itu
nampaknya sia-sia karena setelahnya tidak ada perubahan perilaku masyarakat sekitar,
sehingga sungai tetap menjadi tempat pembuangan sampah bahkan limbah pabrik pun
mengalir ke Ci Tarum. Bertahun kemudian, keadaan sungai bahkan bertambah buruk,
sempit dan dangkal, penuh sampah, dan di sebagian tempat airnya pun berwarna
hitam pekat.
Ironisnya,
berkebalikan dengan nilai historis dan signifikansi Citarum bagi bangsa
Indonesia, saat ini Citarum sedang mengalami krisis. Air yang mengalir melalui
Citarum telah tercemari oleh berbagai limbah, yang paling berbahaya adalah
limbah kimia beracun dan berbahaya dari industri. Saat ini di daerah hulu
Citarum, sekitar 500 pabrik berdiri dan hanya sekitar 20% saja yang mengolah
limbah mereka, sementara sisanya membuang langsung limbah mereka secara tidak
bertanggung jawab ke anak sungai Citarum atau ke Citarum secara langsung tanpa
pengawasan dan tindakan dari pihak yang berwenang (pemerintah).
Kondisi Citarum saat
ini merupakan potret parahnya pengelolaan air permukaan di Indonesia. Hasil
pemantauan yang dilakukan oleh 30 Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah
(Bapedalda) Propinsi Jawabarat pada tahun 2008 terhadap 35 sungai menunjukkan
bahwa pada umumnya status mutu air sudah tercemar berat.
Walaupun Indonesia
memiliki sumber air permukaan sebanyak 6% dari seluruh sumber air permukaan
dunia, dan 21% dari total sumber air di wilayah Asia Pasifik, namun masalah air
bersih menjadi masalah yang terus menghantui masyarakat di Indonesia. Lebih
dari 100 juta warga Indonesia tidak memiliki akses atas sumber air yang aman,
dan lebih dari 70% warga Indonesia mengkonsumsi air yang terkontaminasi.
Penyakit yang diakibatkan konsumsi air yang tidak bersih –seperti diare,
kolera, disentri, menjadi penyebab kematian balita kedua terbesar di Indonesia.
Dan setiap tahunnya, 300 dari 1.000 orang Indonesia harus menderita berbagai
penyakit akibat mengkonsumsi air yang tidak bersih dan aman.[4]
Masyarakat memiliki
hak untuk tahu apa saja yang terkandung di sumber air mereka saat ini. sehingga
mereka dapat menghindari penyakit atau memulai langkah hidup sehat dan bersahabat
dengan Citarum.
B.
Analisis Kasus Pencemaran Sungai Citarum melalui
Kacamata Hukum lingkungan.
a. Identifikasi Permasalahan Pencemaran
Lingkungan
Sungai merupakan salah satu unsur
penting dalam kehidupan manusia. Sungai diibaratkan sebagai urat nadi manusia,
sementara air yang mengalir dalam urat nadi tersebut adalah segumpal darah.
Tanpa urat nadi, darah tidak dapat mengirimkan berbagai zat makanan yang di
perlukan oleh seluruh tubuh manusia. Air yang mengalir di sungai membawa
berbagai kehidupan manusia dan makhluk – makhluk yang hidup di
sekitarnya. Pemanfaatan terbesar sebuah sungai adalah untuk irigasi pertanian, bahan baku air minum, sebagai
saluran pembuangan air hujan dan air limbah, bahkan sebenarnya potensial untuk
dijadikan objek wisata sungai.
Apabila air sudah tercemar maka manusia
akan susah mendapatkan air yang layak. Indonesia memiliki aliran sungai
terkotor di Dunia. Ini terlihat dengan kondisi aliran sungai
Citarum. Pencemaran air dapat disebabkan oleh berbagai hal:
1. Meningkatnya
kandungan nutrien dapat
mengarah pada eutrofikasi.
2. Sampah
organik seperti air comberan menyebabkan peningkatan kebutuhan oksigen pada air
yang menerimanya yang mengarah pada berkurangnya oksigen yang dapat berdampak
parah terhadap seluruh ekosistem.
3. Industri
membuang berbagai macam polutan ke dalam air limbahnya seperti logam berat, toksin organik, minyak, nutrien dan
padatan. Air limbah tersebut memiliki efek termal, terutama yang dikeluarkan
oleh pembangkit listrik, yang dapat juga mengurangi
oksigen dalam air.
4. Seperti
limbah pabrik yg mengalir ke sungai seperti di sungai citarum
5. Pencemaran
air oleh sampah.
Salah
satu penyebab utama pencemaran air adalah ulah tangan manusia yang dengan
sengaja membuang limbah (sampah) pemukiman atau limbah rumah tangga. Limbah
pemukiman mengandung limbah domestik berupa sampah organik dan sampah anorganik
serta deterjen. Sampah organik adalah sampah yang dapat diuraikan atau
dibusukkan oleh bakteri seperti sisa sayuran, buah-buahan, dan daun-daunan.
Sedangkan sampah anorganik seperti kertas, plastik, gelas atau kaca, kain, kayu-kayuan, logam,
karet, dan kulit. Sampah anorganik ini tidak dapat diuraikan oleh bakteri (non biodegrable).[5]
Sumber
Pencemaran Sungai
Limbah
Industri
Sumber pencemaran sungai-sungai di
Jakarta penyebabnya adalah berasal dari buangan limbah industri. Menurut
Soerjani (1991) pencemaran yang diakibatkan oleh buangan limbah industri ini
menyebabkan pencemaran kualitas air sungai berupa :
a. Turunnya
kandungan oksigen (O2) yang larut kedalam badan air
b. Naiknya
kekeruhan air dan warna air
c. Tingginya
kadar PH dan meningkatnya toksinitas (keracunan)
Limbah Rumah Tangga
Limbah Rumah Tangga
Sumber pencemaran sungai Citarum ini bukan hanya
disebabkan oleh limbah industri saja tetapi juga berasal dari buangan limbah
rumah tangga (permukiman). Bahkan buangan limbah manusia yang berupa sampah,
air kotor (tinja), deterjen dan sisa minyak andilnya lebih besar bila
dibandingkan dengan limbah industri. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh
P4L (Pusat Penelitian Pengembangan Perkotaan dan Lingkungan ) dikemukakan bahwa
Citarum tercemar limbah domestik 50%, industri 40%, peternakan 8% dan pertanian
2%. Buangan
deterjen dan sisa minyak yang membaur dengan sampah terlihat dengan jelas
disetiap pintu air, tonggak jembatan dan muara. Sedangkan limbah manusia berupa
tinja, terlihat dengan semakin banyaknya “helikopter” (WC terapung) yang
landing sepanjang sungai sehingga tak mengherankan apabila helikopter tersebut
mempunyai peluang untuk didaftarkan ke Musium Rekor Indonesia (Muri) pimpinan
Jaya Suprana sebagai WC terpanjang di dunia (?).
Tinja memang dapat larut ke dalam
badan air, tapi bakterinya berpotensi menimbulkan berbagai penyakit. Akibatnya
banyak penduduk yang biasa mandi dan cuci disungai dijangkiti penyakit kulit
(gatal-gatal).[6]
a.
Analisis Yuridis
mengenai pencemaran Sungai Citarum
Dalam melihat permasalahan Pencemaran sungai
citarum memang cukup pelik. Masyarakat sekitar sungai citarum mempunyai hak dan
kewajiban dalam areal pemukimannya sebagaimana yang tertulis dalam UU.No 32
Tahun 2009.
Pasal 65
(1) Setiap orang
berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak asasi
manusia.
(2) Setiap orang
berhak mendapatkan pendidikan lingkungan hidup, akses informasi, akses partisipasi,
dan akses keadilan dalam memenuhi hak atas lingkungan hidup yang baik dan
sehat.
(3) Setiap orang
berhak mengajukan usuldan/atau keberatan terhadap rencana usahadan/atau
kegiatan yang diperkirakan dapat menimbulkan dampak terhadap lingkungan hidup.
(4) Setiap orang
berhak untuk berperan dalamperlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
(5) Setiap orang berhak melakukan
pengaduanakibat dugaan pencemaran dan/atauperusakan lingkungan hidup.
(6) Ketentuan lebih
lanjut mengenai tata carapengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat(5) diatur
dengan Peraturan Menteri.
Pasal 66
Setiap orang yang
memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak
dapatdituntut secara pidana maupun digugat secaraperdata.
Pasal 67
Setiap orang
berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta
mengendalikanpencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.
Pasal 68
Setiap orang yang
melakukan usaha dan/atau kegiatan berkewajiban:
a. memberikan
informasi yang terkait denganperlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
secara benar, akurat, terbuka, dan tepat waktu;
b. menjaga
keberlanjutan fungsi lingkungan hidup; dan
c. menaati ketentuan
tentang baku mutu lingkungan hidup dan/atau kriteria baku kerusakan lingkungan
hidup.
Serta UU.No 1
Tahun 2012 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman.
Pasal 129
Dalam penyelenggaraan perumahan dan kawasan
permukiman, setiap orang berhak:
a. menempati,
menikmati, dan/atau memiliki/memperoleh rumah yang layak dalam lingkungan
yang sehat, aman, serasi, dan teratur;
b. melakukan
pembangunan perumahan dan kawasan permukiman;
c. memperoleh
informasi yang berkaitan dengan penyelenggaraan perumahan dan kawasan
permukiman;
d. memperoleh
manfaat dari penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman;
e. memperoleh
penggantian yang layak atas kerugian yang dialami secara langsung sebagai
akibat penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman; dan
f. mengajukan
gugatan perwakilan ke pengadilan terhadap penyelenggaraan perumahan dan kawasan
permukiman yang merugikan masyarakat.
Pasal 130
Dalam penyelenggaraan
perumahan dan kawasan permukiman, setiap orang wajib:
a. menjaga
keamanan, ketertiban, kebersihan, dan kesehatan di perumahan dan kawasan
permukiman;
b. turut
mencegah terjadinya penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman yang
merugikan dan membahayakan kepentingan orang lain dan/atau kepentingan umum;
c. menjaga dan
memelihara prasarana lingkungan, sarana lingkungan, dan utilitas umum yang
berada di perumahan dan kawasan permukiman; dan
d. mengawasi
pemanfaatan dan berfungsinya prasarana, sarana, dan utilitas umum perumahan dan
kawasan permukiman.
Melihat kenyataan rill yang terjadi. Ada sebuah
ketenggangan yang besar antara hak dan kawajiban masyarakat sekitar sungai
citarum, di satu sisi mereka berhak atas Hak mereka namun disisi lain mereka
tidak menunaikan apa yang menjadi kewajiban tersebut dan itulah yang menjadi
sebab mengapa hak-hak lingkungan mereka tidak dapat terpenuhi.
Karena secara nalar logika hukum masyarakat yang
bersangkutan secara kasualistik maupun kausalistik menjadi penyebab utama
pencemaran sungai citarum dengan asumsi bahwa Citarum tercemar limbah domestik (rumah
tangga)50%,
industri 40%, peternakan 8% dan pertanian 2%. Saat musim hujan, banjir melanda.
Genangan lebih dari tiga ribu hektar.[7]
Apakah
dimungkinkan melakukan gugatan Class Action ?
Class Action
pada intinya adalah gugatan perdata (biasanya terkait dengan permintaan ganti
kerugian) yang diajukan oleh sejumlah orang (dalam jumlah yang tidak banyak,
misalnya satu atau dua orang saja) sebagai perwakilan kelas (Class
Representative) mewakili kepentingan mereka, sekaligus mewakili kepentingan
ratusan atau tibuan orang lainnya yang juga sebagai korban. Orang-orang yang
diwakili ini disebut dengan Class Members. [8]
Gugatan Class
Action ini terdapat dalam UU PPLH 2009, UU Perlindungan Konsumen, UU
Kehutanan dan tersumbernya dari Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) RI No. 1 Tahun
2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok. Dalam Pasal 1 huruf a
ditentukan bahwa :
“Gugatan Perwakilan Kelompok (class
action), merupakan tata cara pengajuan gugatan, dalam mana satu orang
atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk diri mereka sendiri
dan sekaligus mewakili sekelompok orang yang jumlahnya banyak, yang memiliki
kesamaan fakta atau dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota kelompok yang
dimaksud”
suatu gugatan class action tidak
sama dengan hak gugat organisasi lingkungan (legal standing organisasi
lingkungan) karena konsep penerapan class action lebih banyak berkembang
di negara-negara penganut sistem anglo-saxon, maka di Indonesia class
action merupakan konsep yang sangat baru dan belum banyak dipahami oleh
para penegak hukum maupun praktisi hukum publik di negara ini, dan oleh
karenanya tidak sedikit pengertian class action dicampur dengan konsep hak
gugat oraganisasi lingkungan.
Gugatan Class
Action dalam Lingkungan Hidup belum mendapat pengaturan dalam UULH 1982,
prosedur ini baru diatur dalam UU PLH 1997 dan kemudian UU PPLH 2009 pada Pasal
91 yang menentukan :
(1) Masyarakat
berhak mengajukan gugatan perwakilan kelompok untuk kepentingan dirinya sendiri
dan/atau untuk kepentingan masyarakat apabila mengalami kerugian akibat
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.
(2) Gugatan
dapat diajukan apabila terdapat kesamaan fakta atau peristiwa, dasar hukum,
serta jenis tuntutan di antara wakil kelompok dan anggota kelompoknya.
(3) Ketentuan
mengenai hak gugat masyarakat dilaksanakan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Saya berasumsi
bilamana masyarakat yang bersangkutan melakukan gugatan Class Action dalam kasus pencemaran Sungai Citarum ini, saya rasa
kurang tepat. Gugatan Class Action
hanya di mungkinkan bila masyarakat dirugikan karena ada aktifitas di luar
kegiatan masyarakat itu berkenaan dengan pencemaran lingkungan. Lebih tepatnya
saya rasa pihak organisasi lingkunganlah yang memiliki kewenangan yang lebih
tepat untuk mengugat (Legal standing).
Pengakuan secara tegas mengenai legal
standing organisasi lingkungan terdapat dalam Pasal 92 UU PPLH 2009 yang
menentukan :
(1) Dalam rangka
pelaksanaan tanggung jawab perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup,
organisasi lingkungan hidup berhak mengajukan gugatan untuk kepentingan
pelestarian fungsi lingkungan hidup.
(2) Hak
mengajukan gugatan terbatas pada tuntutan untuk melakukan tindakan tertentu
tanpa adanya tuntutan ganti rugi, kecuali biaya atau pengeluaran riil.
(3) Organisasi
lingkungan hidup dapat mengajukan gugatan apabila memenuhi persyaratan:
1. berbentuk
badan hukum;
2. menegaskan
di dalam anggaran dasarnya bahwa organisasi tersebut didirikan untuk
kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup; dan
3. telah
melaksanakan kegiatan nyata sesuai dengan anggaran dasarnya paling singkat 2
(dua) tahun.
Misalkan organisasi
Lingkungan seperti WALHI ( Wahana
Lingkungan hidup ) atau Greenpeace dan sebagainya, dengan syarat sesuai
dengan UU tersebut dan tentunya telah melakukan penelitian/kajian mendalam
mengenai Permasalahan yang menjadi Objek Gugatan.
C.
Penegakan Hukum dan Penerapan sanksi terhadap Pelaku
Pencemaran lingkungan
Penegakkan
hukum dalam sifatnya memiliki dua makna yaitu, penegakkan hukum bersifat
abstrak dan konkrit. Dibawah ini beberapa pengertian penegakkan hukum baik
bersifat abstrak maupun bersifat konkrit. Satjipto Rahadjo menyatakan bahwa
penegakkan hukum pada hakikatnya merupakan penegakkan ide-ide atau
konsep-konsep yang abstrak (keadilan, kebenaran, kemanfaatan sosial, dan
sebagainya). Penegakkan hukum adalah usaha untuk mewujudkan ide-ide tersebut
menjadi kenyataan
Soerjono
Soekanto mengatakan bahwa penegakkan hukum adalah kegiatan menyerasikan
hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah atau
pandangan-pandangan nilai yang mantap dan mengejawantah dan sikap tindak
sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan (sebagai
“social engineering“), memelihara dan mempertahankan (sebagai “social control“)
kedamaian hidup.Penegakkan hukum secara konkrit adalah berlakunya hukum positif
dalam praktik sebagaimana seharusnya patut ditaati. Oleh karena itu, memberikan
keadilan dalam suatu perkara berarti memutuskan perkara dengan menerapkan hukum
dan menemukan hukum in concerto dalam mempertahankan dan menjamin ditaatinya
hukum materiil dengan menggunakan cara prosedural yang ditetapkan oleh hukum
formil.[9]
Salah satu intrumen penegakan hukum adalah dengan cara penggunaan sanksi
namun dalam konteks Hukum lingkungan litigasi dan sanksi ditempatkan sebagai
upaya terakhir (In Cauda Venenum) bilamana
upaya seperti ADR (Alternative Dispute
Resolution ) atau upaya – upaya non-litigasi lainnya gagal. Dalam Konteks
Hukum lingkungan sanksi tidak serta merta dapat di terapkan ada tingkatan
berjenjang dan variatif biasanya Ada keterkaitan dengan bidang hukum lain
sebagai Accessoir contohnya dengan Hukum Perdata terkait dengan Tanggung
Gugat Berdasarkan Kesalahan (Liability based on Fault)
Dalam hukum perdata konsep ini tertuang dalam 1365 KUHPerdata tentang
perbuatan melawan hukum, ketentuan ini kemudian diadopsi dalam Pasal 87 (1) UU
PPLH 2009. Dalam konsep ini Tanggung gugat yang didasarkan atas kesalahan (act
or omission) yang menyebabkan terjadinya risiko bagi pihak lain, beban
pembuktian ada pada penggugat.
Kelemahan dalam konsep ini adalah sulitnya membuktikan unsur perbuatan
melawan hukum tersebut, terutama kesalahan dan hubungan kausal antara perbuatan
dan kerugian yang ditimbulkan, apalagi beban pembuktian ada pada pihak
korban/penggugat. Oleh karena itu, gugatan ganti rugi dengan dasar perbuatan
melawan hukum berupa pencemaran atau perusakan lingkungan yg diatur dalam Pasal
87 (1) UU PPLH 2009 jo. 1365 KUHPerdata cenderung gagal di pengadilan.[10]
Sedangkan contoh keterkaitan dengan Hukum Administrasi
Negara yaitu berupa sanksi :
1. Paksaan Pemerintah (bestuursdwang)
2. Penarikan kembali keputusan yang
menguntungkan (izin, subsidi, pembayaran, dan
sebagainya)
3. Pengenaan uang paksa oleh pemerintah
(dwangsom)
4.
Pengenaan
denda administratif (administratieve boete)
sanksi Administratif ini
juga telah tercantum dalam UUPPLH 2009 yaitu pada
Pasal 76
(1) Menteri,
gubernur, atau bupati/walikota menerapkan sanksi administratif kepada penanggung jawab usaha dan/atau
kegiatan jika dalam pengawasan ditemukan pelanggaran terhadap izin lingkungan.
(2) Sanksi
administratif terdiri atas:
a. teguran tertulis;
b. paksaan pemerintah;
c. pembekuan izin lingkungan; atau
d. pencabutan izin lingkungan.
Bilamana memang sanksi
administratif gagal maka ada upaya terakhir (
Ultimum Remedium ) yakni hukum Pidana. Pencemaran Sungai Citarum sendiri
menurut hemat saya sudah mencapai tahap kritis hingga sungai Citarum yang di
kategorikan sebagai salah satu dari 7 sungai paling tercemar di dunia dapat di
masukan sebagai Delik Lingkungan.
Dalam UUPPLH 2009 Yakni
sebagai berikut :
Pasal 98
(1) Setiap orang
yang dengan sengajamelakukan perbuatan yang mengakibatkandilampauinya baku mutu
udara ambien,baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan
lingkungan hidup,dipidana dengan pidana penjara palingsingkat 3 (tiga) tahun
dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00
(tiga miliar rupiah) danpaling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluhmiliar
rupiah).
(2) Apabila
perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang lukadan/atau
bahaya kesehatan manusia,dipidana dengan pidana penjara palingsingkat 4 (empat)
tahun dan paling lama 12(dua belas) tahun dan denda paling
sedikitRp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah)dan paling banyak
Rp12.000.000.000,00 (duabelas miliar rupiah).
(3) Apabila
perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang lukaberat atau
mati, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun danpaling
lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00
(limamiliar rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah)
Pasal 104
Setiap orang yang melakukan dumping limbah dan/atau
bahan ke media lingkungan hidup tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling
banyakRp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Khusus utntuk Limbah berlaku
asas tanggung jawab mutlak ( strict liability ).Strict Liability
mengandung makna bahwa tanggung gugat timbul seketika pada saat terjadinya
perbuatan, tanpa mempersoalkan kesalahan tergugat. Namun demikian tidak semua
kegiatan dapat diterapkan dengan asas ini, melainkan diperuntukkan bagi
kasus-kasus tertentu yang besar dan membahayakan lingkungan.
Pengaturan Strict Liability dalam undang-undang lingkungan
sudah ada seja UULH 1982 (Pasal 21) , Pasal 35 UUPLH 1997, dan terakhir pada
Pasal 88 UUPPLH 2009 yang menentukan :
“Setiap orang yang tindakannya, usahanya,
dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3,
dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung
jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan”
Namun sebagaimana yang saya
katakan di awal sanksi pidana hanya dapat di jatuhkan bilamana upaya
Penyelesaian sengketa lingkungan di luar peradilan (ADR) dan sanksi
Administratif telah ditempuh/dilakukan (Ultimun
Remedium) dan tentunya penjatuhan sanksinya harus melalui upaya
litigasi/pengadilan.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan
pembahasan dan juga pemaparan analisis kasus yang sudah disampaikan diatas maka
penulis dapat menyimpulkan beberapa hal mengenai Kasus Pencemaran sungai
citarum Simpulan yang dapat saya tarik antara lain adalah :
Sumber pencemar atau penyebab pencemar antara lain rumah tangga,
masyarakat, pabrik, limah pertanian dan limbah industri. Akibat yang
ditimbulkan oleh pencemartan itu sendiri yaitu banjir, merusak organ tubuh
manusia, menimbulkan berbagai penyakit dan lain lain.yang mana Gugatan class action kurang memungkinkankan
karena masyarakat sungai citarum juag memiliki andil besar terjadinya
pencemaran, Lebih tepatnya saya rasa pihak
organisasi lingkunganlah yang memiliki kewenangan yang lebih tepat untuk
mengugat (Legal standing).
Kemudian Bentuk penegakan hukum lingkungan yang digunakan di
Indonesia adalah yang pertama penegakan melalui non-litigasi, intrumen
keperdataan maupun intrumen administratif yang apabila tidak mampu
menyelesaikan permasalahan dan juga tidak diindahkan oleh pelaku pelanggara
atau kejahatan lingkungan hidup adalah khusus penggunaan instrumen perdata dan
pidana , yang mana kedua instrument sanksi hukum ini biasa gunakan secara
pararel maupun berjalan sendiri sendiri.
Solusi menurut hemat saya adalah melalui 2 langkah pertama, dengan
langkah persuasif dengan cara melalukan sosialisasi dan pendidikan tentang
lingkungan hidup pada masyarakat sekitar sungai citarum dan para pelaku usaha
atau dengan langkah kedua yaitu langkah koersif dengan paksaan penggunaan
sanksi baik penggunaan intrumen hukum administratif,keperdataan maupun pidana
sebagai accessoir dalam hukum lingkungan sehingga implementasi penegakan hukum
lingkungan dapat berjalan dengan Optimal.
DAFTAR PUSTAKA
Hukum.kompasiana.com
“Perdefinisi tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup Berdasarkan Ketentuan UU Nomor 32 Tahun 2009” 2011.diakses pada 10 juni 2014.
http://bloggerrumahku.blogspot.com/2013/06/pencemaran-lingkungan-perairan-sungai.html.diakses pada 10 juni 2014.
http://www.citarum.org/id/Sungai-Citarum-sekilas-Sejarah, Banjir:
Dulu-hingga-Sekarang,Menuju-Tujuan-Bersama.diakses pada 10 juni 2014.
http://zriefmaronie.blogspot.com/2014/05/hukumlingkungankeperdataan_17.html.diakses pada 10 juni 2014.
Kompas, 9 juni
2014.keluarkan-dana-besar-penanganan-sungai-citarum-dinilai-belum-efektif/.diakses pada 10 juni 2014.
Ridwan,HR.2011.Hukum Administrasi Negara.Jakarta: Rajawali Pers
[1] Hukum.kompasiana.com “Perdefinisi
tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup Berdasarkan Ketentuan UU Nomor 32 Tahun
2009” 2011.
[3] http://www.citarum.org/id/Sungai-Citarum-sekilas-Sejarah, Banjir:Dulu-hingga-Sekarang,Menuju-Tujuan-Bersama
[4]http://www.greenpeace.org/seasia/id/campaigns/toxics/Air/citarum/
Terimakasih ilmunya, ijin untuk saya jadikan referensi untuk tugas H.Lingkungan.
BalasHapusTop 7 youtube - Videoodl.cc
BalasHapusTop 7 youtube - Videosl.cc · 1. Bets. 1xbet. · 2. Sport Betting Tips · 3. Horse Racing Tips · 4. Casino · 5. Golf Tips · 6. youtube downloader Poker