Selasa, 01 Juli 2014

ANALISIS YURIDIS KASUS PENCEMARAN SUNGAI CITARUM DALAM KONTEKS HUKUM LINGKUNGAN



OLEH GUSTYA MARGO WALUYO


BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Pengertian Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteran manusia serta makhluk hidup lainnya. Lingkungan  hidup erat kaitannyan dengan pengelolaam lingkungan hidup.
Dalam berbagai aturan, pengelolaan lingkungan hidup sering didefinisikan sebagai upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan dan pengendalian lingkungan hidup. Pelaksanaannya dilakukan oleh instansi pemerintah sesuai dengan bidang tugas dan tanggungjawab masing-masing, masyarakat, serta pelaku pembangunan lainnya dengan memperhatikan keterpaduan perencanaan dan kebijakan nasional pengelolaan lingkungan hidup. Sektor lingkungan hidup oleh para perencana dan pelaku pembangunan masih kurang diperhatikan dibandingkan bidang ekonomi misalnya. Hal ini sesungguhnya mempengaruhi tujuan pembangunan berkelanjutan.
Dalam Undang-undang nomor 32 tahun 2009 dalam pasal 13 tercantum bahwa pengedalian pencemaran dan / atau kerusakan lingkungan hidup dilaksanakan dalam rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup. Pengedalian pecemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup ini terdiri dari 3 hal yaitu : pencegahan, penanggulangan dan pemulihan lingkungan hidup dengan menerapkan berbagai instrument-instrument yaitu : Kajian lingkungan hidup straegis (KLHS); Tata ruang; Baku mutu lingkungan hidup; Kriteria baku mutu kerusakan lingkungan hidup; Amdal; UKL-UPL; perizinan; instrument ekonomi lingkungan hidup; peraturan perundang-undangan berbasis lingkungan hidup; anggaran berbasis lingkungan hidup; Analisis resiko lingkungan hidup; audit lingkungan hidup, dan instrument lain sesuai dengan kebutuhan dan /atau perkembangan ilmu pengetahuan.[1]
Namun adakalanya dalam implementasi pengelolaan lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan dan pengendalian lingkungan hidup, dalam kenyataan praktik belum dapat dikatakan sepenuhnya berjalan dengan baik.
Manusia yang berpandangan sentralistik selalu menganggap bahwa mereka adalah satu-satunya makhluk yang menjadi pusat kehidupan dan beranggapan bahwa lingkungan ( komponen yang tersususan baik yang biotik maupun yang abiotik ) adalah diperuntukan bagi hajat hidup mereka sendiri ( antroposentris ).
Perilaku seperti inilah yang mengakibatkan terjadinya aktifitas manusia yang bertendensi kepada perusakan lingkungan hidup dan kerusakan lingkungan hidup ,Dalam pemenuhan kebutuhannya. Definisi perusakan lingkungan hidup sendiri adalah menurut UUPPLH { Pasal 1 butir 16 }   ialah:
Perusakan lingkungan hidup adalah tindakan orang yang menimbulkan perubahan langsung atau tidaklangsung terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup sehingga melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.”
Sedangkan definisi kerusakan lingkungan hidup menurut UUPPLH {Pasal 1 butir 17 } ialah:
“Kerusakan lingkungan hidup adalah perubahan langsung dan/atau tidak langsung terhadap sifatfisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup yangmelampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup,”
Menilik masalah mengenai perusakan lingkungan hidup maupun kerusakan  lingkungan hidup hampir dipastikan ulah manusia sebagai tingkah laku aktifitasnya menjadi penyebab utama. Seperti Pencemaran Sungai Citarum yang menjadi Topik analisis kasus dalam makalah ini.
Masalah Sungai Citarum, hingga kini belum selesai. Pencemaran air di ambang batas, membawa Citarum, mendapat predikat salah satu sungai tercemar di dunia. Pencemaran air sungai citarum lebih didominasi oleh limbah pabrik dan sampah... Pencemaran sungai citarum diakibatkan oleh meningkatnya jumlah penduduk otomatis sampah yang dihasilkan semakin banyak. Selain karna meningkatnya jumlah sampah juga dikarenakan semakin sempitnya bahkan semakin berkurangnya lahan untuk digunakan sebagai tempat pembuangan sampah. Tidak adanya lahaan disebabkan oleh lahan yang ada digunakan dan dimanfaatkan sebagai areal perumahan maupun gedung-gedung sehingga banyak sampah yang sengaja dibuang di sungai dan tertimbun di dalam tanah.
Menurut data dari Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS), Kawasan lindung di hulu Sungai Citarum seharusnya 178.394,74 hektar (52%).  Namun, tinggal 68.617 hektar atau 20%. Total luas Citarum hulu 343.087 hektar. Daerah resapan air tersisa tak lebih 50.000 hektar dari yang seharusnya 39 ribu hektar. Citarum tercemar limbah domestik 50%, industri 40%, peternakan 8% dan pertanian 2%. Saat musim hujan, banjir melanda. Genangan lebih dari tiga ribu hektar.[2]
Sungai citarum yang secara geografis berada di daerah padat penduduk menjadi dilema tersendiri, di satu sisi kepadatan penduduk memjadi penyebab utama di sisi lain membawa akibat yang pula bagi masyarakat sekitar. Maka perlu sebuah pengkajian secara komprehensif melalui intrumen lingkungan hidup baik dalam hal identifikasi/analisis Lingkungan Sebagai data primer baik pengembangan pola penanganan preventif dan penanganan Represif.

B.  PERUMUSAN MASALAH
1.   Apa itu sungai citarum dan Bagaimana perkembangan informasi terkini maupun terdahulu mengenai Keadaan sungai Citarum ?
2.   Bagaimana Analisis Kasus tersebut dari kacamata Hukum Lingkungan Khususnya melalui UUPPLH No.32 Tahun 2009 maupun ketentuan hukum lainnya dan bagaimana solusi penyelesaiannya ?
C.  TUJUAN PENULISAN
1.   Memenuhi tugas Hukum Lingkungan
2.   Menganalisis Kasus pencemaran ini sebagai relasi pembelajaran Hukum Lingkungan
3.   Untuk mengetahui pola penyelesaian kasus pencemran secara aplikasi yuridis yaitu melalui intrumen Hukum
D.  MANFAAT PENULISAN
Sebagai media pembelajaran pembaca baik secara teoritis maupun praktis sehingga pembaca mampu mengetahui dan mengetahui kaidah-kaidah penyelesaian sengketa lingkungan secara baik.
E.   METODE PENULISAN
Metode penulisan adalah dengan metode analisis deduktif di mana ketentuan hukum rasio logis seperti peraturan perundang-undangan menjadi premis mayor sedangkan kasus pencemaran sungai citarum sebagai premis minor yang nantinya mensintesiskan/ mengkonklusikan simpulan-simpulan yang preskriptif. Pengumpulan data sendiri diperoleh dari koran, buku dan internet dengan kata lain melalui cara telaah kepustakaan.


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Sekilas Sejarah mengenai Sungai Citarum dan Perkembangannya
Citarum: Sekilas Sejarah
Kata Citarum berasal dari dua kata yaitu Ci dan Tarum. Ci atau dalam Bahasa Sunda Cai, artinya air. Sedangkan Tarum, merupakan sejenis tanaman yang menghasilkan warna ungu atau nila. Pada abad ke-5, berawal hanya dari sebuah dusun kecil yang dibangun di tepi sungai Citarum oleh Jayasinghawarman, lambat laun daerah ini berkembang menjadi sebuah kerajaan besar, yaitu Kerajaan Tarumanegara, kerajaan Hindu tertua di Jawa Barat. Dari dahulu hingga sekarang, Citarum memainkan peranan yang sangat penting bagi kehidupan manusia, terutama masyarakat di Jawa Barat. Dahulu kala, Citarum menjadi batas wilayah antara dua kerajaan yaitu Kerajaan Galuh dan Kerajaan Sunda (pergantian nama dari Kerajaan Tarumanegara pada tahun 670 Masehi). Fungsi Citarum sebagai batas administrasi ini terulang lagi pada sekitar abad 15, yaitu sebagai batas antara Kesultanan Cirebon dan Kesultanan Banten.[3]
Citarum sungai terpanjang dan terbesar di propinsi Jawa barat. Dan sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat disekitarnya. Pemanfaatan sungai Citarum sangat bervariasi dari hulu hingga hilir dari yang memenehui kebutuhan rumah tangga, irigasi, pertanian, peternakan dan Industri. Dengan perkembangan industri di Sepanjang DAS citarum dan tidak terkelolanya limbah industri merupakan salah satu penyebab pencemaran sungai.
Keadaan lingkungan sekitar Ci Tarum telah banyak berubah sejak paruh kedua dasawarsa 1980-an. Industrialisasi yang pesat sejak akhir 1980-an di kawasan sekitar sungai ini telah menyebabkan menumpuknya limbah buangan pabrik-pabrik di Ci Tarum.
Setiap musim hujan wilayah Bandung Selatan di sepanjang Ci Tarum selalu dilanda banjir. Setelah kejadian banjir besar yang melanda daerah tersebut pada tahun 1986, pemerintah membuat proyek normalisasi sungai Ci Tarum dengan mengeruk dan melebarkan sungai bahkan meluruskan alur sungai yang berkelok. Tetapi hasil proyek itu nampaknya sia-sia karena setelahnya tidak ada perubahan perilaku masyarakat sekitar, sehingga sungai tetap menjadi tempat pembuangan sampah bahkan limbah pabrik pun mengalir ke Ci Tarum. Bertahun kemudian, keadaan sungai bahkan bertambah buruk, sempit dan dangkal, penuh sampah, dan di sebagian tempat airnya pun berwarna hitam pekat.
Ironisnya, berkebalikan dengan nilai historis dan signifikansi Citarum bagi bangsa Indonesia, saat ini Citarum sedang mengalami krisis. Air yang mengalir melalui Citarum telah tercemari oleh berbagai limbah, yang paling berbahaya adalah limbah kimia beracun dan berbahaya dari industri. Saat ini di daerah hulu Citarum, sekitar 500 pabrik berdiri dan hanya sekitar 20% saja yang mengolah limbah mereka, sementara sisanya membuang langsung limbah mereka secara tidak bertanggung jawab ke anak sungai Citarum atau ke Citarum secara langsung tanpa pengawasan dan tindakan dari pihak yang berwenang (pemerintah).
Kondisi Citarum saat ini merupakan potret parahnya pengelolaan air permukaan di Indonesia. Hasil pemantauan yang dilakukan oleh 30 Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) Propinsi Jawabarat pada tahun 2008 terhadap 35 sungai menunjukkan bahwa pada umumnya status mutu air sudah tercemar berat.
Walaupun Indonesia memiliki sumber air permukaan sebanyak 6% dari seluruh sumber air permukaan dunia, dan 21% dari total sumber air di wilayah Asia Pasifik, namun masalah air bersih menjadi masalah yang terus menghantui masyarakat di Indonesia. Lebih dari 100 juta warga Indonesia tidak memiliki akses atas sumber air yang aman, dan lebih dari 70% warga Indonesia mengkonsumsi air yang terkontaminasi. Penyakit yang diakibatkan konsumsi air yang tidak bersih –seperti diare, kolera, disentri, menjadi penyebab kematian balita kedua terbesar di Indonesia. Dan setiap tahunnya, 300 dari 1.000 orang Indonesia harus menderita berbagai penyakit akibat mengkonsumsi air yang tidak bersih dan aman.[4]
Masyarakat memiliki hak untuk tahu apa saja yang terkandung di sumber air mereka saat ini. sehingga mereka dapat menghindari penyakit atau memulai langkah hidup sehat dan bersahabat dengan Citarum.
B.     Analisis Kasus Pencemaran Sungai Citarum melalui Kacamata Hukum lingkungan.
a.   Identifikasi Permasalahan Pencemaran Lingkungan
Sungai merupakan salah satu unsur penting dalam kehidupan manusia. Sungai diibaratkan sebagai urat nadi manusia, sementara air yang mengalir dalam urat nadi tersebut adalah segumpal darah. Tanpa urat nadi, darah tidak dapat mengirimkan berbagai zat makanan yang di perlukan oleh seluruh tubuh manusia. Air yang mengalir di sungai membawa berbagai kehidupan manusia dan makhluk – makhluk yang hidup di sekitarnya. Pemanfaatan terbesar sebuah sungai adalah untuk irigasi pertanian, bahan baku air minum, sebagai saluran pembuangan air hujan dan air limbah, bahkan sebenarnya potensial untuk dijadikan objek wisata sungai.
Apabila air sudah tercemar maka manusia akan susah mendapatkan air yang layak. Indonesia memiliki aliran sungai terkotor di Dunia. Ini terlihat dengan kondisi aliran sungai Citarum. Pencemaran air dapat disebabkan oleh berbagai hal:
1.   Meningkatnya kandungan nutrien dapat mengarah pada eutrofikasi.
2.   Sampah organik seperti air comberan menyebabkan peningkatan kebutuhan oksigen pada air yang menerimanya yang mengarah pada berkurangnya oksigen yang dapat berdampak parah terhadap seluruh ekosistem.
3.   Industri membuang berbagai macam polutan ke dalam air limbahnya seperti logam berattoksin organik, minyak, nutrien dan padatan. Air limbah tersebut memiliki efek termal, terutama yang dikeluarkan oleh pembangkit listrik, yang dapat juga mengurangi oksigen dalam air.
4.   Seperti limbah pabrik yg mengalir ke sungai seperti di sungai citarum
5.   Pencemaran air oleh sampah.
Salah satu penyebab utama pencemaran air adalah ulah tangan manusia yang dengan sengaja membuang limbah (sampah) pemukiman atau limbah rumah tangga. Limbah pemukiman mengandung limbah domestik berupa sampah organik dan sampah anorganik serta deterjen. Sampah organik adalah sampah yang dapat diuraikan atau dibusukkan oleh bakteri seperti sisa sayuran, buah-buahan, dan daun-daunan. Sedangkan sampah anorganik seperti kertas, plastik, gelas atau kaca, kain, kayu-kayuan, logam, karet, dan kulit. Sampah anorganik ini tidak dapat diuraikan oleh bakteri (non biodegrable).[5]
Sumber Pencemaran Sungai
Limbah Industri
Sumber pencemaran sungai-sungai di Jakarta penyebabnya adalah berasal dari buangan limbah industri. Menurut Soerjani (1991) pencemaran yang diakibatkan oleh buangan limbah industri ini menyebabkan pencemaran kualitas air sungai berupa :
a.   Turunnya kandungan oksigen (O2) yang larut kedalam badan air
b.   Naiknya kekeruhan air dan warna air
c.   Tingginya kadar PH dan meningkatnya toksinitas (keracunan)

Limbah Rumah Tangga
Sumber pencemaran sungai Citarum ini bukan hanya disebabkan oleh limbah industri saja tetapi juga berasal dari buangan limbah rumah tangga (permukiman). Bahkan buangan limbah manusia yang berupa sampah, air kotor (tinja), deterjen dan sisa minyak andilnya lebih besar bila dibandingkan dengan limbah industri. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh P4L (Pusat Penelitian Pengembangan Perkotaan dan Lingkungan ) dikemukakan bahwa Citarum tercemar limbah domestik 50%, industri 40%, peternakan 8% dan pertanian 2%. Buangan deterjen dan sisa minyak yang membaur dengan sampah terlihat dengan jelas disetiap pintu air, tonggak jembatan dan muara. Sedangkan limbah manusia berupa tinja, terlihat dengan semakin banyaknya “helikopter” (WC terapung) yang landing sepanjang sungai sehingga tak mengherankan apabila helikopter tersebut mempunyai peluang untuk didaftarkan ke Musium Rekor Indonesia (Muri) pimpinan Jaya Suprana sebagai WC terpanjang di dunia (?).
Tinja memang dapat larut ke dalam badan air, tapi bakterinya berpotensi menimbulkan berbagai penyakit. Akibatnya banyak penduduk yang biasa mandi dan cuci disungai dijangkiti penyakit kulit (gatal-gatal).[6]
a.       Analisis Yuridis mengenai pencemaran Sungai Citarum
Dalam melihat permasalahan Pencemaran sungai citarum memang cukup pelik. Masyarakat sekitar sungai citarum mempunyai hak dan kewajiban dalam areal pemukimannya sebagaimana yang tertulis dalam UU.No 32 Tahun 2009.
Pasal 65
(1) Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak asasi manusia.
(2) Setiap orang berhak mendapatkan pendidikan lingkungan hidup, akses informasi, akses partisipasi, dan akses keadilan dalam memenuhi hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
(3) Setiap orang berhak mengajukan usuldan/atau keberatan terhadap rencana usahadan/atau kegiatan yang diperkirakan dapat menimbulkan dampak terhadap lingkungan hidup.
(4) Setiap orang berhak untuk berperan dalamperlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
 (5) Setiap orang berhak melakukan pengaduanakibat dugaan pencemaran dan/atauperusakan lingkungan hidup.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata carapengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat(5) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 66
Setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapatdituntut secara pidana maupun digugat secaraperdata.
Pasal 67
Setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mengendalikanpencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.
Pasal 68
Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan berkewajiban:
a. memberikan informasi yang terkait denganperlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup secara benar, akurat, terbuka, dan tepat waktu;
b. menjaga keberlanjutan fungsi lingkungan hidup; dan
c. menaati ketentuan tentang baku mutu lingkungan hidup dan/atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.
 Serta UU.No 1 Tahun 2012 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman.
Pasal 129 
 Dalam penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman, setiap orang berhak: 
a.   menempati, menikmati, dan/atau memiliki/memperoleh rumah yang layak dalam lingkungan yang  sehat, aman, serasi, dan teratur;
b.   melakukan pembangunan perumahan dan kawasan permukiman; 
c.   memperoleh informasi yang berkaitan dengan penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman; 
d.   memperoleh manfaat dari penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman; 
e.   memperoleh penggantian yang layak atas kerugian yang dialami secara langsung sebagai akibat penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman; dan 
f.    mengajukan gugatan perwakilan ke pengadilan terhadap penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman yang merugikan masyarakat.
 Pasal 130
Dalam penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman, setiap orang wajib: 
a.   menjaga keamanan, ketertiban, kebersihan, dan kesehatan di perumahan dan kawasan permukiman;
b.   turut mencegah terjadinya penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman yang merugikan dan membahayakan kepentingan orang lain dan/atau kepentingan umum;  
c.   menjaga dan memelihara prasarana lingkungan, sarana lingkungan, dan utilitas umum yang berada di perumahan dan kawasan permukiman; dan
d.   mengawasi pemanfaatan dan berfungsinya prasarana, sarana, dan utilitas umum perumahan dan kawasan permukiman.
Melihat kenyataan rill yang terjadi. Ada sebuah ketenggangan yang besar antara hak dan kawajiban masyarakat sekitar sungai citarum, di satu sisi mereka berhak atas Hak mereka namun disisi lain mereka tidak menunaikan apa yang menjadi kewajiban tersebut dan itulah yang menjadi sebab mengapa hak-hak lingkungan mereka tidak dapat terpenuhi.
Karena secara nalar logika hukum masyarakat yang bersangkutan secara kasualistik maupun kausalistik menjadi penyebab utama pencemaran sungai citarum dengan asumsi bahwa Citarum tercemar limbah domestik (rumah tangga)50%, industri 40%, peternakan 8% dan pertanian 2%. Saat musim hujan, banjir melanda. Genangan lebih dari tiga ribu hektar.[7]
Apakah dimungkinkan melakukan gugatan Class Action ?
Class Action pada intinya adalah gugatan perdata (biasanya terkait dengan permintaan ganti kerugian) yang diajukan oleh sejumlah orang (dalam jumlah yang tidak banyak, misalnya satu atau dua orang saja) sebagai perwakilan kelas (Class Representative) mewakili kepentingan mereka, sekaligus mewakili kepentingan ratusan atau tibuan orang lainnya yang juga sebagai korban. Orang-orang yang diwakili ini disebut dengan Class Members. [8]
Gugatan Class Action ini terdapat dalam UU PPLH 2009, UU Perlindungan Konsumen, UU Kehutanan dan tersumbernya dari Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) RI No. 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok. Dalam Pasal 1 huruf a ditentukan bahwa :
“Gugatan Perwakilan Kelompok (class action), merupakan tata cara pengajuan gugatan, dalam mana satu orang atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk diri mereka sendiri dan sekaligus mewakili sekelompok orang yang jumlahnya banyak, yang memiliki kesamaan fakta atau dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota kelompok yang dimaksud”
       suatu gugatan class action tidak sama dengan hak gugat organisasi lingkungan (legal standing organisasi lingkungan) karena konsep penerapan class action lebih banyak berkembang di negara-negara penganut sistem anglo-saxon, maka di Indonesia class action merupakan konsep yang sangat baru dan belum banyak dipahami oleh para penegak hukum maupun praktisi hukum publik di negara ini, dan oleh karenanya tidak sedikit pengertian class action dicampur dengan konsep hak gugat oraganisasi lingkungan.
Gugatan Class Action dalam Lingkungan Hidup belum mendapat pengaturan dalam UULH 1982, prosedur ini baru diatur dalam UU PLH 1997 dan kemudian UU PPLH 2009 pada Pasal 91 yang menentukan :
(1)  Masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan kelompok untuk kepentingan dirinya sendiri dan/atau untuk kepentingan masyarakat apabila mengalami kerugian akibat pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.
(2)  Gugatan dapat diajukan apabila terdapat kesamaan fakta atau peristiwa, dasar hukum, serta jenis tuntutan di antara wakil kelompok dan anggota kelompoknya.
(3)  Ketentuan mengenai hak gugat masyarakat dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Saya berasumsi bilamana masyarakat yang bersangkutan melakukan gugatan Class Action dalam kasus pencemaran Sungai Citarum ini, saya rasa kurang tepat. Gugatan Class Action hanya di mungkinkan bila masyarakat dirugikan karena ada aktifitas di luar kegiatan masyarakat itu berkenaan dengan pencemaran lingkungan. Lebih tepatnya saya rasa pihak organisasi lingkunganlah yang memiliki kewenangan yang lebih tepat untuk mengugat (Legal standing).
Pengakuan secara tegas mengenai legal standing organisasi lingkungan terdapat dalam Pasal 92 UU PPLH 2009 yang menentukan :
(1)  Dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, organisasi lingkungan hidup berhak mengajukan gugatan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup.
(2)  Hak mengajukan gugatan terbatas pada tuntutan untuk melakukan tindakan tertentu tanpa adanya tuntutan ganti rugi, kecuali biaya atau pengeluaran riil.
(3)  Organisasi lingkungan hidup dapat mengajukan gugatan apabila memenuhi persyaratan:
1.   berbentuk badan hukum;
2.   menegaskan di dalam anggaran dasarnya bahwa organisasi tersebut didirikan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup; dan
3.   telah melaksanakan kegiatan nyata sesuai dengan anggaran dasarnya paling singkat 2 (dua) tahun.
Misalkan organisasi Lingkungan seperti WALHI ( Wahana Lingkungan hidup ) atau Greenpeace dan sebagainya, dengan syarat sesuai dengan UU tersebut dan tentunya telah melakukan penelitian/kajian mendalam mengenai Permasalahan yang menjadi Objek Gugatan.
C.     Penegakan Hukum dan Penerapan sanksi terhadap Pelaku Pencemaran lingkungan
Penegakkan hukum dalam sifatnya memiliki dua makna yaitu, penegakkan hukum bersifat abstrak dan konkrit. Dibawah ini beberapa pengertian penegakkan hukum baik bersifat abstrak maupun bersifat konkrit. Satjipto Rahadjo menyatakan bahwa penegakkan hukum pada hakikatnya merupakan penegakkan ide-ide atau konsep-konsep yang abstrak (keadilan, kebenaran, kemanfaatan sosial, dan sebagainya). Penegakkan hukum adalah usaha untuk mewujudkan ide-ide tersebut menjadi kenyataan
Soerjono Soekanto mengatakan bahwa penegakkan hukum adalah kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah atau pandangan-pandangan nilai yang mantap dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan (sebagai “social engineering“), memelihara dan mempertahankan (sebagai “social control“) kedamaian hidup.Penegakkan hukum secara konkrit adalah berlakunya hukum positif dalam praktik sebagaimana seharusnya patut ditaati. Oleh karena itu, memberikan keadilan dalam suatu perkara berarti memutuskan perkara dengan menerapkan hukum dan menemukan hukum in concerto dalam mempertahankan dan menjamin ditaatinya hukum materiil dengan menggunakan cara prosedural yang ditetapkan oleh hukum formil.[9]
Salah satu intrumen penegakan hukum adalah dengan cara penggunaan sanksi namun dalam konteks Hukum lingkungan litigasi dan sanksi ditempatkan sebagai upaya terakhir (In Cauda Venenum) bilamana upaya seperti ADR (Alternative Dispute Resolution ) atau upaya – upaya non-litigasi lainnya gagal. Dalam Konteks Hukum lingkungan sanksi tidak serta merta dapat di terapkan ada tingkatan berjenjang dan variatif biasanya Ada keterkaitan dengan bidang hukum lain sebagai Accessoir contohnya dengan Hukum Perdata terkait dengan Tanggung Gugat Berdasarkan Kesalahan (Liability based on Fault)
Dalam hukum perdata konsep ini tertuang dalam 1365 KUHPerdata tentang perbuatan melawan hukum, ketentuan ini kemudian diadopsi dalam Pasal 87 (1) UU PPLH 2009. Dalam konsep ini Tanggung gugat yang didasarkan atas kesalahan (act or omission) yang menyebabkan terjadinya risiko bagi pihak lain, beban pembuktian ada pada penggugat.
Kelemahan dalam konsep ini adalah sulitnya membuktikan unsur perbuatan melawan hukum tersebut, terutama kesalahan dan hubungan kausal antara perbuatan dan kerugian yang ditimbulkan, apalagi beban pembuktian ada pada pihak korban/penggugat. Oleh karena itu, gugatan ganti rugi dengan dasar perbuatan melawan hukum berupa pencemaran atau perusakan lingkungan yg diatur dalam Pasal 87 (1) UU PPLH 2009 jo. 1365 KUHPerdata cenderung gagal di pengadilan.[10]
 Sedangkan contoh keterkaitan dengan Hukum Administrasi Negara yaitu berupa sanksi :
1.      Paksaan Pemerintah (bestuursdwang)
2.      Penarikan kembali keputusan yang menguntungkan (izin, subsidi, pembayaran,  dan sebagainya)
3.      Pengenaan uang paksa oleh pemerintah (dwangsom)
4.      Pengenaan denda administratif (administratieve boete)
sanksi Administratif ini juga telah tercantum dalam UUPPLH 2009 yaitu pada
Pasal 76
(1)  Menteri, gubernur, atau bupati/walikota menerapkan sanksi administratif  kepada penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan jika dalam pengawasan ditemukan pelanggaran terhadap izin lingkungan.
(2)  Sanksi administratif terdiri atas:
a. teguran tertulis;
b. paksaan pemerintah;
c. pembekuan izin lingkungan; atau
d. pencabutan izin lingkungan.
Bilamana memang sanksi administratif gagal maka ada upaya terakhir ( Ultimum Remedium ) yakni hukum Pidana. Pencemaran Sungai Citarum sendiri menurut hemat saya sudah mencapai tahap kritis hingga sungai Citarum yang di kategorikan sebagai salah satu dari 7 sungai paling tercemar di dunia dapat di masukan sebagai Delik Lingkungan.
Dalam UUPPLH 2009 Yakni sebagai berikut :
Pasal 98
(1)  Setiap orang yang dengan sengajamelakukan perbuatan yang mengakibatkandilampauinya baku mutu udara ambien,baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup,dipidana dengan pidana penjara palingsingkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) danpaling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluhmiliar rupiah).
(2)  Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang lukadan/atau bahaya kesehatan manusia,dipidana dengan pidana penjara palingsingkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12(dua belas) tahun dan denda paling sedikitRp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah)dan paling banyak Rp12.000.000.000,00 (duabelas miliar rupiah).
(3)  Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang lukaberat atau mati, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun danpaling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (limamiliar rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah)


Pasal 104
Setiap orang yang melakukan dumping limbah dan/atau bahan ke media lingkungan hidup tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyakRp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Khusus utntuk Limbah berlaku asas tanggung jawab mutlak ( strict liability ).Strict Liability mengandung makna bahwa tanggung gugat timbul seketika pada saat terjadinya perbuatan, tanpa mempersoalkan kesalahan tergugat. Namun demikian tidak semua kegiatan dapat diterapkan dengan asas ini, melainkan diperuntukkan bagi kasus-kasus tertentu yang besar dan membahayakan lingkungan.
Pengaturan Strict Liability dalam undang-undang lingkungan sudah ada seja UULH 1982 (Pasal 21) , Pasal 35 UUPLH 1997, dan terakhir pada Pasal 88 UUPPLH 2009 yang menentukan :
“Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan”
Namun sebagaimana yang saya katakan di awal sanksi pidana hanya dapat di jatuhkan bilamana upaya Penyelesaian sengketa lingkungan di luar peradilan (ADR) dan sanksi Administratif telah ditempuh/dilakukan (Ultimun Remedium) dan tentunya penjatuhan sanksinya harus melalui upaya litigasi/pengadilan.




BAB III
PENUTUP

A.  KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan dan juga pemaparan analisis kasus yang sudah disampaikan diatas maka penulis dapat menyimpulkan beberapa hal mengenai Kasus Pencemaran sungai citarum Simpulan yang dapat saya tarik antara lain adalah :
Sumber pencemar atau penyebab pencemar antara lain rumah tangga, masyarakat, pabrik, limah pertanian dan limbah industri. Akibat yang ditimbulkan oleh pencemartan itu sendiri yaitu banjir, merusak organ tubuh manusia, menimbulkan berbagai penyakit dan lain lain.yang mana Gugatan class action kurang memungkinkankan karena masyarakat sungai citarum juag memiliki andil besar terjadinya pencemaran, Lebih tepatnya saya rasa pihak organisasi lingkunganlah yang memiliki kewenangan yang lebih tepat untuk mengugat (Legal standing).
 Kemudian Bentuk penegakan hukum lingkungan yang digunakan di Indonesia adalah yang pertama penegakan melalui non-litigasi, intrumen keperdataan maupun intrumen administratif yang apabila tidak mampu menyelesaikan permasalahan dan juga tidak diindahkan oleh pelaku pelanggara atau kejahatan lingkungan hidup adalah khusus penggunaan instrumen perdata dan pidana , yang mana kedua instrument sanksi hukum ini biasa gunakan secara pararel maupun berjalan sendiri sendiri.
Solusi menurut hemat saya adalah melalui 2 langkah pertama, dengan langkah persuasif dengan cara melalukan sosialisasi dan pendidikan tentang lingkungan hidup pada masyarakat sekitar sungai citarum dan para pelaku usaha atau dengan langkah kedua yaitu langkah koersif dengan paksaan penggunaan sanksi baik penggunaan intrumen hukum administratif,keperdataan maupun pidana sebagai accessoir dalam hukum lingkungan sehingga implementasi penegakan hukum lingkungan dapat berjalan dengan Optimal.


DAFTAR PUSTAKA
Hukum.kompasiana.com “Perdefinisi tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup Berdasarkan Ketentuan UU Nomor 32 Tahun 2009” 2011.diakses pada 10 juni 2014.
http://bloggerrumahku.blogspot.com/2013/06/pencemaran-lingkungan-perairan-sungai.html.diakses pada 10 juni 2014.
http://www.citarum.org/id/Sungai-Citarum-sekilas-Sejarah, Banjir:
Dulu-hingga-Sekarang,Menuju-Tujuan-Bersama.diakses pada 10 juni 2014.
http://zriefmaronie.blogspot.com/2014/05/hukumlingkungankeperdataan_17.html.diakses pada 10 juni 2014.
Ridwan,HR.2011.Hukum Administrasi Negara.Jakarta: Rajawali Pers







[1] Hukum.kompasiana.com “Perdefinisi tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup Berdasarkan Ketentuan UU Nomor 32 Tahun 2009” 2011.
[3] http://www.citarum.org/id/Sungai-Citarum-sekilas-Sejarah, Banjir:Dulu-hingga-Sekarang,Menuju-Tujuan-Bersama
 

[4]http://www.greenpeace.org/seasia/id/campaigns/toxics/Air/citarum/

[9] Ridwan,HR.2011.Hukum Administrasi Negara.Jakarta:Rajawali Pers.hlm 291-292
[10] Op.cit

2 komentar:

  1. Terimakasih ilmunya, ijin untuk saya jadikan referensi untuk tugas H.Lingkungan.

    BalasHapus
  2. Top 7 youtube - Videoodl.cc
    Top 7 youtube - Videosl.cc · 1. Bets. 1xbet. · 2. Sport Betting Tips · 3. Horse Racing Tips · 4. Casino · 5. Golf Tips · 6. youtube downloader Poker

    BalasHapus