OLEH GUSTYA MARGO WALUYO
PEMBAHASAN
A.
Sistem
Presidensial dan Pola Pemberhentian Eksekutif.
Lazimnya kita berangkat dari asumsi awal
bahwasanya sistem pemerintahan mempengaruhi Pola, Alasan serta bagaimana
mekanisme pemberhentian Eksekutif pada dasarnya Pemberhentian tersebut janganlah diartikan bahwa diantara hubungan
kelembagaan khususnya antara eksekutif dan legislatif saling berhadapan
diametral serta saling menjatuhkan satu sama lain. Tapi secara teoritis maupun
akademik hal ini justru berfungsi agar terciptanya mekanisme check and balance
yakni hubungan saling mengawasi dan seimbang antara legislatif dan eksekutif.
Hubungan
antara eksekutif dan legislatif baik dalam hal penyelenggaraan negara maupun
dalam hal pembuatan Undang-undang (legislasi) disebut dengan istilah yang cukup
familiar yakni ialah sistem pemerintahan. Begitu banyak para ahli politik
maupun ahli ketatanegaraan memberikan pengertian mengenai apa yang dimaksud
dengan Sistem Pemerintahan?.
Dalam
ilmu negara umum (algemeine staatslehre)
yang dimaksud dengan sistem pemerintahan ialah sistem hukum ketatanegaraan,
baik yang berbentuk monarki maupun republik, yaitu mengenai hubungan antar
pemerintah (eksekutif) dan badan yang mewakili rakyat. Menurut Usep Ranawijaya
yang dimaksud dengan sistem pemerintahan adalah merupakan hubungan antara
eksekutif dan legislatif, Gina Misiroglu mengartikan sistem pemerintahan adalah
apabila lembaga-lembaga pemerintah dilihat dari hubungan antara badan eksekutif
dan badan legislatif. Dalam ilmu negara umum (algemeine staatslehre) yang
dimaksud dengan sistem pemerintahan ialah sistem hukum ketatanegaraan, baik
yang berbentuk monarki maupun republik, yaitu mengenai hubungan antar
pemerintah (eksekutif) dan badan yang mewakili rakyat.[1]
Sejalan
dengan pandangan tersebut, Jimly Asshiddiqie mengemukakan, sistem pemerintahan
berkaitan dengan pengertian regeringsdaad, yaitu penyelenggaraan pemerintahan
oleh eksekutif dalam hubungannya dengan fungsi legislatif. Cara pandang yang
demikian sesuai dengan teori dichotomy,
yaitu legislatif sebagai policy making (taak
stelling), sedangkan eksekutif sebagai policy executing (taak verwe-zenlijking)[2].
Meskipun
begitu ada pula yang mengartikan pengertian Sistem Pemerintahan dengan
pengertian yang luas sebagai suatu struktur yang terdiri dari fungsi-fungsi
legislatif, eksekutif dan yudikatif yang saling berhubungan, bekerja sama dan
saling mempengaruhi satu sama lain. Ismail Sunny mempunyai pendapat bahwa yang
dimaksud dengan Sistem Pemerintahan ialah sebagai suatu sistem tertentu yang
menjelaskan bagaimana hubungan antara alat-alat kelengkapan tinggi negara satu
sama lain.[3]Bahkan
Mahfud MD mengartikan sistem pemerintahan sebagai hubungan tata kerja antar
lembaga-lembaga negara.[4]
Jadi dalam hal ini pengertian sistem pemerintahan diartikan secara luas tidak
sekedar hubungan antara legislatif dan Eksekutif tetapi hubungan seluruh
komponen negara/lembaga negara dalam suatu negara satu sama lain untuk
menyelenggarakan fungsi-fungsi negara (karena negara pada dasarnya abstrak,
negara bergerak melakukan aktifitasnya melalui organ negara).
Namun
Penulis dalam hal ini mengartikan Sistem Pemerintahan dalam arti yang sempit
yakni hubungan antara Eksekutif dan legislatif dalam hal Pembuatan Undang-Undang
dan Penyelenggaraan Negara. Penulis mengambil pengertian demikian karena
pengertian tersebutlah yang relevan dalam pembahasan Subbab ini.
Dalam
literatur ketatanegaraan dan ilmu politik maupun pada implementasinya di
berbagai negara di dunia, terdapat perbedaan varian sistem pemerintahan
lazimnya di bagi menjadi tiga sistem varian yakni sistem pemerintahan
perlementer, sistem pemerintahan Presidensial dan Sistem Pemerintahan
Semi-Presidensiil atau Hybrid. Perbedaan
yang demikian tidak hanya sekedar perbedaan pengertian, ciri atau istilah dalam
ranah ilmu pengetahuan khususnya Ilmu Ketatanegaan, setiap perbedaan yang ada
dalam suatu sub sistem atau spesies antara spesies dalam genus akan menimbulkan
suatu akibat yang berbeda. Dalam hal ini bila dikaitkan dengan adanya tiga
varian Sistem Pemerintahan kan menimbulkan perbedaan satu sama lain dalam hal
Pola hubungan antara eksekutif dan legislatif, Pola Penyelenggaraan Negara,
Kedudukan bahkan yang lebih Relevan lagi dengan Pembahasan ini yaitu Pola
Pemberhentian Eksekutif.
Penulis
dalan hal ini akan membahas keseluruhan Varian tiga sistem pemerintahan
tersebut satu per satu melainkan penulis akan menjelaskan sebatas mengenai
Sistem Pemerintahan Presidensial karena dalam hal ini erat sekali kaitannya
dengan pembahasan pada Bab-bab selanjutnya.
Sistem
pemerintahan Presidensial menurut Sri Soemantri adalah :[5]
“suatu sistem
pemerintahan dimana pemerintah tidak bertanggung jawab kepada parlemen/badan
legislatif. Disamping presiden berkedudukan sebagai kepala negara ia juga
merupakan kepala pemerintahan. Disamping itu, presiden tidak dipilih oleh
lembaga legislatif, akan tetapi oleh sejumlah pemilih. Oleh karena itu presiden
bukanlah bagian dari legislatif seperti dalam sistem pemerintahan parlementer.”
Sistem
pemerintahan presidensial dalam sejarah ketatanegaraan berkembang tidak
sebaimana sistem pemerintahan perlementer yang setapak demi setapak namun
sistem pemerintahan ini berkembang secara revolusioner yakni pada masa awal
berdirinya Negara Amerika Serikat di pengaruhi karena perjuangan rakyat amerika
serikat dalam melawan Kolonialisme Inggris karena latar belakang inilah Amerika
serikat menghendaki bentuk negara yang Republik dengan Presiden sebagai Kepala
Negaranya tidak menghendaki Monarki karena kebencian rakyat terhadap
pemerintahan Raja George III. Dapat dikatakan pula Sistem pemerintahan
Presidensial lahir sejalan dengan terjadinya Revolusi Prancis dan Pemikiran
Montesquieu dengan Doktrin Pemisahan Kekuasaannya.
Dalam
sistem Presidensial sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Sri Soemantri
Presiden tidak hanya diletakkan sebagai kepala negara (head of chief) namun juga sebagai Kepala Pemerintahan (head of chief). Itulah sebabnya dalam
sistem presidensial tidak hanya merambah dalam ranah eksekutif saja , tetapi
juga merambah ranah legislatif dan ranah yudikatif. Selain itu karena baik
badan legislatif maupun presiden memperoleh mandat langsung dari rakyat melalui
pemilu menyebabkan kedua badan tersebut berada dalam posisi yang seimbang satu
sama lain. Dan oleh karena itu pulalah mayoritas para ahli menempatkan Posisi
Presiden dan Badan Legislatif secara vis
a vis atau saling berhadap-hadapan satu sama lain.
Dari
beberapa karetekristik mengenai sistem presidensial yang ditulis oleh para ahli
pendapat, Ball dan Peters termasuk yang paling jelas dalam menghadapkan posisi
presiden dengan lembaga legislatif. Karakteristiknya ialah sebagai berikut :[6]
1.
The
President is both nominal and political head of state
2.
The
President is not elected By The Legislature, But Directly elected from the
total electorate
3.
The
President is not the part of the legislature, and cannot be from office by the
legislature except through the legal Process of Impeachment.
4.
The
President cannot dissolve the legislature and call a general election. Usually
the president and the legislature are elected for mixed term.
S.L.
Witman dan J.J Wuest mengungkapkan Ciri-ciri Sistem Presidensial sebagai
berikut :[7]
1.
It
is based upon the separation of power Principles
2.
The
Executive has no power to dissolve the legislature nor must he resign when he
lose the support of the majority of its membership
3.
There
no mutual responsibility between the president and his cabinet; the letter is
wholly responsible to the chief executive;
4.
The
executive is chosen by the electorate.
Selain
itu menurut pakar hukum tata negara Indonesia
Mahfud MD, mengemukakan ciri-ciri sistem presidensial sebagai berikut :[8]
1. Kepala
negara menjadi kepala pemerintahan
2. Pemerintah
tidak bertanggung jawab dengan kepada parlemen
3. Menteri
tidak diangkat dan bertanggung jawab kepada presiden
4. Eksekutif
dan legislatif sama-sama kuat.
Jimly
Asshidiqie mengemukakan kebih rinci dengan membagi menjadi sembilan ciri sistem
presidensial ialah sebagai berikut :[9]
1. Terdapat
pemisahan yang jelas antara eksaekutif dan legislatif
2. Presiden
merupakan eksekutif tunggal. Kekuasaan eksekutif presiden tidak dapat dibagi
dan yang ada hanya presiden dan wakil presiden saja;
3. Kepala
pemerintahan adalah sekaligus kepala negara dan sebaliknya;
4. Presiden
mengangkat para menteri sebagai pembantu presiden dan bertanggung jawab kepada
presiden.
5. Anggota
parlemen tidak boleh menduduki eksekutif demikian pula sebaliknya;
6. Presiden
tidak dapat membubarkan atau memaksa parlemen
7. Jika
dalam sistem parlementer berlaku prinsip supremasi parlemen dalam sistem
presidensial berlaku prinsip supremasi konstitusi oleh karena itu eksekutif
pertanggung jawab kepada konstitusi
8. Eksekutif
bertanggung jawab langsung kepada rakyat;
9. Kekuasaan
tidak terpusat seperti dalam sistem parlementer namun tersebar.
Adapun
konsep sistem pemerintahan presidensial murni bila kita merujuk kepada sistem
pemerintahan presidensial di negara Amerika serikat sebagai “the outstanding example of the presidential form of government” sistem
presidensial murni itu memuat dua belas ciri yaitu: [10]
1. Presiden
sebagai Kepala Negara sekaligus Kepala Pemerintahan;
2. Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat;
3. Masa
Jabatan Presiden yang pasti;
4. Kabinet
atau dewan menteri dibentuk oleh Presiden;
5. Presiden
tidak bertanggung jawab kepada badan legislaif;
6. Presiden
tidak dapat membubarkan badan legislative;
7. Menteri
tidak boleh merangkap anggota badan legislative;
8. Menteri
bertanggung jawab kepada Presiden;
9. Masa
jabatan menteri tergantung pada kepercayaan Presiden;
10. Peran
eksekutif dan legislatif dibuat seimbang
dengan sistem checks and balances;
11. Pembuatan
undang-undang oleh badan legislatif tanpa melibatkan lembaga eksekutif;
12. Hak
veto Presiden terhadap Undang-undang yang dibuat oleh Badan Legislatif
Berdasarkan
ciri-ciri tersebut dapat dikatakan dalam hal hubungan antara Eksekutif dan legislatif
pada sistem Presidensial ada sebuah pemisahan yang jelas “there is a clear-cut separation between the executive and legislature”
sehingga legislatif maupun eksekutif tidak bertanggung jawab satu sama lain dan
tidak dapat membubarkan satu sama lain. Hal yang mana demikian membuat posisi
eksekutif dalam pemerintahan dapat lebih terjamin tidak mudah dilengserkan
sebagaimana posisi eksekutif dalam sistem parlementer.
Dalam
pola hubungan yang terpisah ini setidaknya ada empat keuntungan dasar dalam sistem pemerintahan presidensial
yakni :[11]
1. Dengan
dipilih langsung kekuasaan presiden menjadi lebih legitimate karena memperoleh mandat langsung (direct mandat) dari rakyat ;
2. Pemisahan
antara eksekutif dan legislatif mencegah terjadinya penumpukan kekuasaan karena
dengan terpisahnya antara eksekutif dan legislatif keduanya satu sama lain
dapat saling mengawasi.
3. Dengan
posisi sentral dalam jajaran eksekutif, presiden dapat mengambil kebijakan strategis
yang amat menentukan secara cepat (speed
and deciciness)
4. Dengan
masa jabatan yang tetap membuat posisi presiden lebih terjamin dibandingkan
dengan sistem parlementer.
Namun
meskipun jabatan presiden tetap (fixed
Term) bukan berarti presiden tidak dapat diberhentikan dalam masa
jabatannya seringkali dalam pemerintahan presidensial sebagai sisi mata uang
dari dual-paradoks of presidentialism berayun
kepada pendulum otorialisme di karenakan kuatnya kedudukan eksekutif apabila
kekuatan-kekuatan dalam parlemen di isi oleh mayoritas partai yang memenangkan
Pemilu Eksekutif, kita pula ingat dengan adagium dari lord acton “power tends to corrupt but absolute power
corrupt absolutely”oleh karena itu pastilah ada mekanisme pengawasan
terhadap kesewenang-wenangan eksekutif bahkan bila perlu presiden dapat
diberhentikan dalam masa jabatannya.
Jadi
adalah sebuah sebuah hal wajar jika Presiden diberhentikan dalam masa
jabatannya mengingat bukan tidak mungkin seorang Presiden melakukan
pelanggaran-pelanggaran yang serius atau tidak lagi memenuhi syarat untuk tetap
berada dalam jabatannya.
Pemberhentian
presiden/wakil presiden di tengah masa jabatannya disebut impeachment (pemakzulan) yang secara hukum merupakan a legal process of removing an undesirable
person from public office. Tindakan pemberhentian presiden tersebut dapat
dikatakan sebagai upaya luar biaya dalam menerobos aturan mengenai Fixed term dalam sistem Presidensial.[12]
Pada dasarnya terdapat perbedaan mekanisme pemakzulan/pemberhentian presiden di
negara satu dengan yang lain. Namun sebagaimana yang pernah saya kemukakan di
awal bahwa setiap perbedaan yang ada dalam suatu sub sistem atau spesies antara
spesies dalam genus akan menimbulkan suatu akibat yang berbeda. Dalam hal ini
bila dikaitkan dengan adanya tiga varian Sistem Pemerintahan kan menimbulkan
perbedaan satu sama lain dalam hal ini yaitu Pemberhentian Eksekutif. Jadi ada
persamaan antara negara- negara yang menganut sistem presidensial mengenai
Pemberhentian eksekutif dan tentunya ada perbedaan mendasar pemberhentian
eksekutif dengan sistem parlementer.
Misalkan
dalam konstitusi indonesia Pasal 7A UUD 1945 menetapkan alasan-alasan
pemakzulan Presiden dan/atau wakil Presiden dalam masa jabatannya, yaitu:
’...baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa
pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya,
atau tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai
Presiden dan/atau wakil Presiden.’
Article
II, section 4 USA Constitution mencantumkan alasan alasan impeachment, ‘….Treason, Bribery, or other
high Crimes and misdemeanors.’
Alasan-alasan
pemakzulan dimaksud berkonotasi hukum (rechtmatigheid), bukan berpaut dengan
kebijakan (doelmatigheid) atau beleid, memiliki konotatif hukum. Suatu ‘beleid’
bukan doelmatigheid manakala merupakan bagian modus operandi dari kejahatan. Perbedaan
pendapat dengan Presiden USA tidak merupakan alasan impeach betapapun besarnya
perbedaan pendapat itu.[13]
Demikian
pula halnya dengan perbuatan tercela. Perbuatan tercela yang dimaksud pasal
konstitusi itu harus dipahami pula dalam makna perbuatan tercela menurut hukum,
artinya perbuatan tercela tersebut berkaitan dengan aturan-aturan hukum
tertulis. Impeach tidak berhasil diajukan terhadap supreme court justice, William Orville
Douglas (1898-1980) di kala musim semi tahun 1970, sehubungan dengan pemuatan
bahasan bukunya dalam sebuah majalah porno, juga kelak yang berkaitan dengan
kasus tiga kali perceraian perkawinannya.[14]
Jadi
bila kita sandingkan dengan model pemberhentian eksekutif dalam sistem
parlementer, dalam sistem parlementer pemberhentian eksekutif berkonotasi
kebijakan (doelmatigheid) atau beleid dengan mengajukan mosi tidak
percaya (vote of no convidence) artinya
perbedaan pendapat antara eksekutif dan legislatif dapat juga menjadi pemicu
atau alasan di berhentikannya eksekutif dalam masa jabatannya, hal ini dapat
dimaklumi karena dalam sistem pemerintahan parlementer “there is no clear-cut separation between the executive and the
legislature” karena Eksekutif adalah
bagian dari Legislatif artinya di pilih oleh legislatif dan bertanggung jawab
kepada legislatif. Lain halnya dengan sistem pemerintahan presidensial dimana
antara eksekutif dan legislatif terdapat pemisahan yang jelas dan baik legislatif
maupun eksekutif sama-sama memperoleh mandat langsug dari rakyat dan keduanya
tidak saling mempengaruhi dalam arti eksekutif tidak bertanggung jawab kepada
legislatif dan legislatif tidak dapat dibubarkan oleh eksekutif. Mengenai
pemakzulan presiden sebagaimana sudah dikemukakan sebelumnya, tindakan ini
dapat diartikan sebagai penerobosan terhadap ketentuan fixed term dalam sistem presidensial namun upaya ini pada dasarnya
merupakan suatu implementasi dari mekanisme check
and balance antara kedua badan sentral tersebut.
B. Sistem Pemerintahan Indonesia dan
Pola Pemberhentian Eksekutif
a.
Gagasan
Soepomo mengenai Sistem Pemerintahan
Tanpa
bermaksud mengesampingkan Bapak Pendiri Bangsa yang lain, dalam sejarah
ketatanegaraan Indonesia dapat dikatakan bahwa Soepomo menjadi tokoh sentral
mengenai gagasan Sistem pemerinthan
Indonesia pada masa sebelum kemerdekaan yakni pada masa sidang Badan Penyelidik
Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang diselenggarakan 29 Mei-1 Juni dan 10
Juli-17 Juli 1945.
Pandangannya
mengenai negara Integralistik sangat mempengaruhi warna sistem pemerintahan
Indonesia bahkan sampai sekarang. Dalam rapat 13 Mei 1945, lebih jauh dalan
rapat tersebut soepomo menegaskan :[15]
“kepala negara
akan terus bergaul dengan badan permusyarawaratan supaya senantiasa mengetahui
dan merasakan rasa keadilan rakyat dan cita-cita rakyat. Bagaimana bentuknya
badan permusyawaratan itu, ialah satu hal yang harus diseildiki, akan tetapi
hendaklah kita jangan memakai sistem Individualisme”
Pandangan
soepomo meskipun menolak atau tidak menghendaki sistem individualisme pada
dasarnya pemikiran soepomo mengenai badan Permusyawaratan terinspirasi dengan
sistem pemerintahan belanda yang menggunakan model pemerinthan yang sama dengan
inggris.
Sistem
pemerintahan inggris yang merupakan prototipe dari sistem parlementer yang di
adopsi oleh soepomo memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap pemerintahan
yang memakai sistem presidensial. Pengaruhnya dari sistem parlementer terhadap
sistem pemerintahan di indonesia adalah
:[16]
1. Supremasi
parlemen dengan modifikasi tertentu seperti nampak pada DPR dan MPR.
2. Adanya
kerjasama yang erat antara eksekutif dan parlemen dalam pembuatan
Undang-undang. Hubungan ini membuktikan bahwa Indonesia tidak menjalankan
sistem pemisahan kekuasaan dalam proses pembuatan Undang-undang.
3. Kedudukan
kepala negara yang tidak dapat dipersalahkan, yang merupakan suatu tradisi
dalam pemerintahan kerajaan inggris yang berpengaruh terhadap pemerintahan
demokrasi bersistem presidensial.
4. Peran
menteri yang sangat besar yang dapat menetapkan berbagai macam kebijaksanaan
Kembali
kepada pembahasan mengenai gagasan dari soepomo lebih lanjut lagi mengenai
rancangan bentuk pemerintahan dalam rancangan undang-undang dasar pada 15 juli
1945, soepomo menegaskan :[17]
“sistem
pemerintahan yang di tegaskan dalam rancangan undang-undang dasar adalah sistem
pemerintahan yang memberikan predominance
kekuasaan negara bagi pemerintah, terutama kepada kepala negara. Concentration of power and responsibility ditangan
presiden”
Menutup
penjelasan sistem pemerintahan soepomo menegaskan, rancangan undang-undang
dasar yang sedang disusun memakai sistem sendiri. yang dimaksud dengan sitem
sendiri itu, kepala negara tidak tunduk kepada Dewan Perwakilan Rakyat, Tetapi
sepenuhnya bertanggung jawab kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat. Soepomo
menambahkan,dengan sistem sendiri itu, menteri-menteri hanya tunduk kepada
kepala negara.[18]
Meskipun
begitu gagasan membentuk sistem sendiri di BPUPKI tidak mempengaruhi para
pengkaji hukum tata negara untuk menyatakan bahwa para pembentuk UUD 1945
menghasilkan Sistem pemerintahan
presidensial.
Disamping
keinginan membentuk “sitem pemerintahan sendiri” penjelasan UUD 1945 yang
dibuat oleh Soepomo memberikan kontribusi yang besar mengenai perdebatan sistem
Pemerintahan Indonesia dalam UUD 1945 terutama yang terkait dengan Sistem
Pemerintahan negara yang ,meliputi :
Sistem
pemerintahan negara yang ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar ialah:[19]
1. Indonesia
ialah negara yang berdasar atas hukum (rechtsstaat).
Negara
Indonesia berdasar atas hukum, (rechtsstaat),
tidak berdasarkan kekuasaan belaka (Machtsstaat).
2. Sistem
Konstitusional.
Pemerintahan
berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar) tidak bersifat absolutisme
(kekuasaan yang tidak terbatas).
3. Kekuasaan
Negara yang tertinggi di tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Die gezatnte Staatgewalt liegi allein bei
der Majelis).
Kedaulatan
Rakyat dipegang oleh suatu badan, bernama Majelis Permusyawaratan Rakyat,
sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia (Vertretungsorgan
des Willens des Staatsvolkes). Majelis ini menetapkan Undang-Undang Dasar
dan menetapkan garis-garis besar haluan negara. Majelis ini mengangkat Kepala
Negara (Presiden) dan Wakil Kepala Negara (Wakil Presiden). Majelis inilah yang
memegang kekuasaan negara yang tertinggi, sedang Presiden harus menjalankan
haluan negara menurut garis-garis besar yang telah ditetapkan oleh Majelis.
Presiden yang diangkat oleh Majelis, bertunduk dan bertanggung jawab kepada
Majelis. Ia ialah "mandataris" dari Majelis. Ia berwajib menjalankan
putusan-putusan Majelis. Presiden tidak "neben", akan tetapi
"untergeordnet" kepada Majelis.
4. Presiden
ialah penyelenggara pemerintah Negara yang tertinggi di bawah Majelis.
Di
bawah Majelis Permusyawaratan Rakyat, Presiden ialah penyelenggara pemerintah
negara yang tertinggi. Dalam menjalankan pemerintahan negara, kekuasaan dan
tanggung jawab adalah di tangan Presiden (concentration of power and
responssibility upon the President).
5. Presiden
tidak bertanggungjawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
Di
sampingnya Presiden adalah Dewan Perwakilan Rakyat. Presiden harus mendapat
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat untuk membentuk undang-undang (Gesetzgebung) dan untuk menetapkan
anggaran pendapatan dan belanja negara (Staatsbegrooting).
Oleh karena itu, Presiden harus bekerja bersama-sama dengan Dewan, akan tetapi
Presiden tidak bertanggung jawab kepada Dewan, artinya kedudukan Presiden tidak
tergantung dari pada Dewan.
6. Menteri
Negara ialah pembantu Presiden; Menteri Negara tidak Bertanggung jawab kepada
Dewan Perwakilan Rakyat.
Presiden
mengangkat dan memperhentikan menteri-menteri negara. Menteri-menteri itu tidak
bertanggungjawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Kedudukannya tidak tergantung
dari pada Dewan, akan tetapi tergantung dari pada Presiden. Mereka ialah
pembantu Presiden.
7. Kekuasaan Kepala Negara tidak tak terbatas.
Meskipun
Kepala Negara tidak bertanggungjawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat, ia bukan
"diktator", artinya kekuasaan tidak tak terbatas. Diatas telah
ditegaskan bahwa ia bertanggung jawab kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Kecuali itu ia harus memperhatikan sungguh-sungguh suara Dewan Perwakilan
Rakyat. Kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat adalah kuat. Kedudukan Dewan
Perwakilan Rakyat adalah kuat. Dewan ini tidak bisa dibubarkan oleh Presiden
(berlainan dengan sistem parlementer). Kecuali itu anggota-anggota Dewan
Perwakilan Rakyat semuanya merangkap menjadi anggota Majelis Permusyawaratan
Rakyat. Oleh karena itu, Dewan Perwakilan Rakyat dapat senantiasa mengawasi
tindakan-tindakan Presiden dan jika Dewan menganggap bahwa Presiden sungguh
melanggar haluan negara yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang Dasar atau
oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, maka Majelis itu dapat diundang untukersidangan
istimewa agar supaya bisa minta pertanggungan jawab kepada Presiden.
Menteri-menteri negara bukan pengawal tinggi biasa. Meskipun kedudukan menteri
negara tergantung dari pada Presiden, akan tetapi mereka bukan pegawai tinggi
biasa oleh karena menteri-menterilah yang, terutama menjalankan kekuasaan
pemerintah (pouvoir executif) dalam
praktek. Sebagai pemimpin departemen, menteri mengetahui seluk-beluk hal-hal
yang mengenai lingkungan pekerjaannya. Berhubung dengan menteri mempunyai
pengaruh besar terhadap Presiden dalam menentukan politik negara yang mengenai
departemennya. Memang, yang dimaksudkan ialah, para menteri itu
pemimpin-pemimpin negara. Untuk menetapkan politik pemerintah dan koordinasi
dalam pemerintahan negara, para menteri bekerja bersama satu sama lain
seerat-eratnya dibawah pimpinan Presiden.
Namun
sebenarnya “sistem sendiri” yang digagas oleh Soepomo lebih mendekati sistem
pemerintahan presidensial, misalnya dengan menggunakan karakter yang terdapat
dalam sistem pemerintahan Presidensial, yaitu
1. Pemilihan
presiden (elected president),
2. Masa
jabatan yang tetap (fixed term)
3. Presiden
kepala negara sekaligus kepala pemerintahan.
Agaknya
meskipun terjadi perdebatan mengenai sistem pemerintahan Indonesia ada yang
berpendapat merupakan sistem presidensial murni seperti A. Hamid. Attamimi,
bahkan Bagir Manan berpendapat bahwa unsur parlementer tidak ada sama sekali
dengan berasumsi bahwa pertanggungjawaban Presiden kepada MPR hanyalah upaya
konstitusional dalam mewujudkan mekanisme check
dan balance. sedangkan yang
berpendapat sebagai sistem campuran Sri Soemantri dimana ada unsur parlementer
dalam sistem yang secara eksplisit dalam penjelasan UUD 1945 menyatakan bahwa
Sistem Pemerintahan yang dianut adalah presidensial.
Suwoto
Mulyosudarmo mengganggap justru tidak perlu disebut sebagai perpaduan antara
sistem presidensial dan sistem parlementer menurutnya dalam sistem legislasinya
dalam hal mengenai pembuatan Undang-Undang,Indonesia menganut Prinsip Sistem
Pemerintahan yang Terpadu, sedangkan dalam hal penyelenggaraan kekuasaan
eksekutif, Indonesia menganut prinsip Presidensial.[20]
Namun
penulis tampaknya lebih setuju denga pendapat dari Aulia. A. Rahman yang justru
menyebut gagasan UUD 1945 tentang sistem sendiri yang di prakarsai oleh soepomo
sebenarnya adalah sistem pemerintahan presiden namun dalam pola yang lebih
longgar. Karakter yang lebih longgar tersebut meliputi :[21]
1. Pemisahan
antara kepala negara dengan kepala pemerintah, selain kepala pemerintah
presiden juga merupakan kepala negara;
2. Presiden
tidak dapat membubarkan lembaga legislatif
3. Presiden
memilih menteri-menteri dan menteri-menteri bertanggungjawab kepada presiden.
Sedangkan
alasan mengapa founding father khususnya Soepomo memilih sistem pemerintahan
presidensial, setidaknya menurut Aulia. A Rahman ada empat alasan yang melatar
belakanginya:[22]
1. Indonesia
memerlukan kepemimpinan yang kuat,stabil dan efektif untuk menjamin keberlangsungan
eksistensi negara indonesia yang baru berdiri;
2. Karena
alasan teoritis yaitu alasan yang terkait dengan cita negara (staatside) terutama cita negara
Integralistik pada saat pembahasan UUD 1945 dalam sidang BPUPKI
3. Pada
awal kemerdekaan Presiden di beri kekuasaan penuh untuk melaksanakan
kewenangan-kewenangan DPR,MPR dan DPA, sehingga sistem yang cocok dengan hal
tersebut adalah sistem Presidensial.
4. Merupakan
simbol perlawanan atas segala bentuk penjajahan karena sistem parlementer
dianggap sebagai sistem produk penjajah.
b. Sistem Pemerintahan
Indonesia berdasar UUD 1945
a.
masa 18 Agustus 1945–27 desember 1949[23]
Masa
awal kemerdekaan, negara Indonesia belum mempunyai infra politik secara
lengkap, lembaga-lembaga negara yang mestinya ada sesuai ketentuan UUD 1945,
walaupun di dalam UUD 1945 menyebutkan adanya lembaga negara seperti : MPR,
DPR. Presiden, MA, BPK, dan DPA namun karena saat itu belum semua lembaga
terbentuk, atau baru Presiden dan Wakil Presiden yang ada, maka berdasar Aturan
Peralihan Pasal IV UUD 1945 kekuasaan lembaga lembaga negara dijalankan oleh
Presiden,”Sebelum Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Pertimbangan Agung dibentuk berdasar
Undang-Undang Dasar ini, segala kekuasaannya dijalankan oleh Presiden dengan
bantuan sebuah Komite Nasional ”.
b. masa 5 Juli 1959-11 maret 1966[24]
Berdasar
pada Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dinyatakan berlakunya kembali UUD 1945. Sejak
saat itu UUD 1945 berlaku lagi sebagai hukum dasar, dari sisi hukum bukan pada
persoalan isi dekrit presidennya yang menarik untuk dibahas, justru dekrit
presidennya yang menarik. Dekrit Presiden 5 Juli 1959 merupakan produk hukum
yang revolusioner, produk hukum yang tanpa dasar hukum.Secara teori sulit untuk
menjelaskan posisi Dekrit Presiden 5 Juli 1959, jika dari sisi positivistik,
maka jelas hukum ini justru bertentangan dengan UUD Sementara 1950 waktu itu,
yang mengamanatkan Presiden taat pada UUD Sementara tahun 1950.
Dari
prespektif hukum progresif pun Dekrit
Presiden 5 Juli 1959 tidak mempunyai ciri untuk kepentingan manusia Indonesia
seutuhnya, Dekrit Presiden merupakan hukum yang menyisihkan UUD 1945 itu sendiri
yang mengalami makna kemunduruan hukum, hukum yang hanya untuk kepentingan
beberapa orang. Sebab setelah itu, keinginan bangsa Indonesia menjadikan negara
Indonesia sebagai negara yang diperintah secara demokrasi justru berbalik arah
ke otoriter.
c. masa
11 maret 1966 sampai dengan 1998[25]
Demikian
halnya pemerintahan Orde Baru sepanjang kekuasaannya, UUD 1945 menjadi sesuatu yang disakralkan. Di era Orde Baru ini, konsentrasi
penyelenggaraan sistem pemerintah dan kehidupan demokrasi dititikberatkan pada
aspek stabilitas politik dalam rangka menunjang pembangunan nasional. Kekuasaan
Presiden dalam UUD 1945 sangat kuat, namun dilihat dari sistem ketatanegaraan
berdasarkan UUD 1945, justru ciri-ciri
sistem parlementer terlihat di dalamnya:
1. Pertama
Presiden dipilih oleh MPR dengan suara terbanyak.
2. Presiden
yang terpilih itu diangkat oleh MPR dan sewaktu-waktu MPR dapat meminta
pertanggungjawaban Presiden.
3. Setiap
Undang-Undang yang dibentuk harus mendapat persetujuan DPR.
d. Sistem
Pemerintahan Presidensiil masa Transisi dari UUD 1945 ke UUD negara RI tahun
1945[26]
Setelah
Orde Baru dilengserkan, maka sistem ketatanegaraan Indonesia memasuki era
transisi, pada masa ini proses perubahan UUD 1945 dilakukan untuk mendorong
terselenggaranya sistem ketatanegaraan yang demokratis.
Pemilihan
Presiden pada masa ini dirasa lebih demokratis dibanding sebelumnya, sebab
anggota anggota MPR menggunakan hak suaranya untuk menentukan Presiden
pilihannya. Pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid, ada upaya pembagian
kekuasaan antara Presiden dan Wakil Presiden melalui Keputusan Presiden No.121
Tahun 2000. Secara politik dapat dikatakan bahwa Presiden melakukan pengalihan
kekuasaan itu berdasarkan kekuasaannya sendiri dan bukan dipaksa secara sepihak
oleh MPR. Tindakan tersebut juga dapat dibenarkan secara konstitusional, sebab
yang dilakukan Presiden Abdurrahman Wahid bukan memisahkan atau melepaskan
kekuasaan pemerintahan negara dari tangan Presiden melainkan menugaskan
kepada Wakil Presiden dengan masih tetap di bawah tanggung jawab
Presiden.
c. Pemberhentian
Presiden sebelum dan Setelah Amandemen UUD 1945
a.
pemberhentian
Presiden sebelum Perubahan UUD 1945
Dalam
UUD 1945 sebelum perubahan kedudukan Presiden dipilih oleh MPRdan ddiposisikan
sebagai mandataris MPR. Hal tersebut dinyatakan secara jelas dalam penjelasan
UUD 1945 tentang Sistem pemerintahan Negara yang menyatakan bahwa kekuasaan
negara tertinggi di tangan MPR, dan Presiden merupakan mandatarisnya yang
dipilih, diangkat, dan diberhentikan oleh MPR.
Oleh karena itu maka Presiden harus tunduk dan bertanggung jawab kepada
MPR, serta wajib menjalankan putusan-putusan MPR termasuk harus menjalankan
haluan negara menurut garis-garis besar yang telah ditetapkan MPR.
Sejalan dengan penjelasan UUD 1945
tentang Sistem pemerintahan Negara yang menyatakan bahwa kekuasaan negara
tertinggi di tangan MPR, dan Presiden merupakan mandatarisnya yang dipilih,
diangkat, dan diberhentikan oleh MPR, Dalam Undang-undang Dasar 1945 sebelum Perubahan pun
mengatur mengenai Pemberhentian Presiden dalam masa jabatannya sebagai bentuk
pertanggung jawabannya sebagai mandataris MPR, baik alasan maupun mekanismenya.
namun tidak secara tegas mengaturnya yakni pasal 8 UUD 1945 yang berbunyi :
“ jika presiden mangkat, berhenti
atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia di ganti oleh
wakil presiden sampai habis masa jabatannya"
Dalam
bagian Penjelasan UUD 1945 yaitu pada angka VII alinea ketiga dijelaskan bahwa
:
"jika dewan mengganggap bahwa presiden sungguh
melanggar haluan negara yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang Dasar atau
oleh MPR maka majelis itu dapat diundang untuk sidang istimewa agar supaya bisa
meminta pertanggung jawab presiden"
Secara
lebih lanjut mekanisme mengenai pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden
dalam masa jabatannya diatur dalam Ketetapan MPR RI No. VI/MPR/1973 kemudian
diubah dengan Ketetapan MPR No. III/MPR/1978 tentang Kedudukan dan Hubungan
Tata Kerja Lembaga Tertinggi Negara
dengan/Antar Lembaga Tinggi Negara dan Ketetapan MPR mengenai Peraturan Tata
Tertib MPR. Presiden dan/atau Wakil Presiden
dapat diberhentikan pada masa jabatannya karena alasan “Presiden
dan/atau Wakil Presiden sungguh-sungguh melanggar haluan negara yang telah
ditetapkan oleh Undang-undang atau oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”.[27]
Persoalannya
tidak ada satu pun ketentuan dalam Peraturan Perundang-undangan menjelaskan
mengenai apa yang dimaksud dengan pelanggaran terhadap Haluan Negara, walaupun demikian
secara implisit ketentuan mengenai sumpah jabatan presiden yang diatur dalam
pasal 9 Undang-undang 1945 yang berbunyi :
Sebelum
memangku jabatannya, Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut agama, atau
berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan Majelis Permusyawaratan Rakyat atau
Dewan Perwakilan Rakyat sebagai berikut:
Sumpah
Presiden (Wakil Presiden):
"Demi
Allah, saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia
(Wakil Presiden Republik Indonesia) dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya,
memegang eguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan
peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa.”
Janji
Presiden (Wakil Presiden):
"Saya
berjanji dengan sungguh-sungguh akan memenuhi kewajiban Presiden Republik
Indonesia (Wakil Presiden Republik Indonesia) dengan sebaik-baiknya dan
seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala
undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusa
dan Bangsa."
Dapat
saja hal pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan termasuk ketentuan
hukum pidana dapat dijadikan alasan pemberthentian presiden. Cukup menarik bila
kita menafsirkan pengertian melanggar haluan negara, bila itu ditafsirkan sebagai
pelanggaran terhadap UUD 1945 dan melanggar Ketetapan Majelis permusyawaratan
maka tafsiran melanggar haluan negara akan menjadi meluas karen dalam UUD 1945
Terdapat ketentuan Pasal 9 UUD 1945 sebagaimana yang telah diuraikan diatas
menyebabkan tidak ada ketentuan yang limitatif mengenai klasifikasi seorang
eksekutif melanggar haluan negara.
Hal
tersebut menyebabkan munculnya penafsiran subjektif dan politis karena
bergantung pada persepsi anggota DPR dan MPR, padahal sebagaimana yang kita
ketahui lembaga parlemen merupakan lembaga politik dimana didalamnya terdapat
berbagai kepentingan politis yang saling berhadapan satu sama lain, apalagi
bila kita menyitir pendapat Jimly asshidiqie bahwasanya ada kecenderungan
menguatnya kedudukan parlemen dalam masa-masa akhir rezim[28],
dapat dikatakan lebih lanjut dalam masa-masa akhir rezim terjadi Pergeseran
Parlemen yang awalnya linear dengan presiden atau sejalan dengan presiden dalam
arti menjadi pendukung presiden berpeda
masa akhir rezim justru parlemen bergerak menjadi pengawas presiden dan
kedudukannya sangat kuat sehingga dapat memberhentikan presiden, bila kita
menilik hal tersebut berarti dalam penentuan apakah seorang presiden/wakil
presiden melanggar haluan negara sangat di pengaruhi dengan keadaan politik
dalam parlemen misalkan contohnya dalam pemberhentian Presiden Soekarno,
sebenarnya beliau sudah jauh hari banyak melanggar konstitusi namun
pemberhentiannya hanya dapat dilakukan pada masa-masa akhir rezim dimana dalam
masa tesebut presiden soekarno kehilangan dukungan politik dari parlemen.
Kembali
ke penbahasan jadi pengertian melanggar haluan negara dapat di tafsirkan
sebagai pelanggaran terhadap haluan atau garis-garis yang ditetapkan MPR.
Kemudian seluruh pasal dan penjelasan dalam UUD 1945 yang terkait dengan tugas,
kewajiban, dan tanggung jawab presiden; Pancasila; Ketetapan MPR;
undang-undang; dan seluruh peraturan perundang-undangan lainnya dapat diartikan
sebagai haluan negara.[29]
Ketentuan
mengenai Mekanisme pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa
jabatannya sebagaimana yang diatur dalam
UUD 1945 sebelum perubahan diatur lebih rinci Ketetapan MPR No III tahun 1978[30]
Dimulai
dengan adanya dugaan DPR bahwa terdapat pelanggaran haluan negara yang
dilakukan oleh presiden. Selanjutnya DPR berdasarkan kewenangan yang ada
padanya dapat menyampaikan memorandum kepada presiden sebagai peringatan bahwa
telah terjadi pelanggaran haluan negara yang dilakukannya. Apabila dalam jangka
waktu 3 bulan setelah disampaikan memorandum presiden tidak juga
mengindahkannya, maka DPR akan kembali menyampaikan memorandum kedua. Apabila
presiden tidak juga mengindahkan memorandum kedua DPR 1 bulan setelah
disampaikan, maka DPR meminta kepada MPR untuk mengadakan Sidang Istimewa untuk
meminta pertanggungjawaban presiden.[31]
Meskipun dalam ketentuan tersebut tidak disebutkan bila pertanggungjawaban
ditolak maka presiden di berhentikan, namun tampaknya pertanggung jawaban
tersebut dapat dikatakan sebagai pintu gerbang MPR untuk melakukan
kewenangannya dalam memberhentikan presiden.
b. Pemberhentian
Presiden Sesudah Perubahan UUD 1945
UUD 1945 Setelah
perubahan diatur secara rinci mengenai alasan dan mekanisme pemberhentian
Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya yaitu dalam ketentuan
Pasal 7A dan 7B UUD 1945. Dalam hal
mengenai Alasan pemberhentian presiden sudah ditentukan secara limitatif
merujuk pada ketentuan Pasal 7A UUD 1945 yakni dalam hal melanggar hukum
melakukan :
a. Pengkhianatan terhadap Negara;
b. Korupsi;
c. Penyuapan;
d. Tindak pidana berat lainnya ;
e. Perbuatan tercela.
Sedangkan
alasan lainnya ialah bilamana presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai
presiden.
Ketentuan
Lebih rinci diatur Dalam Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang No. 24 Tahun 2003
Tentang Mahkamah Konstitusidijelaskan lebih lanjut mengenai maksud tindakan
pelanggaran hukum oleh Presiden dan /atau Wakil Presiden tersebut, yaitu berupa:
a. pengkhianatan
terhadap negara adalah tindak pidana terhadap keamanan negara sebagaimana
diatur dalam undang-undang.
b. korupsi
dan penyuapan adalah tindak pidana korupsi atau penyuapan sebagaimana diatur
dalam undang-undang.
c. tindak
pidana berat lainnya adalah tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5
(lima) tahun atau lebih.
d. perbuatan tercela adalah perbuatan yang dapat
merendahkan martabat Presiden dan/atau Wakil Presiden.
e. tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden
dan/atau Wakil Presiden adalah syarat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 6
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Alasan
pemberhentian presiden setelah perubahan UUD 1945 dan lebi lanjut lagi secara sistematis dengan
peraturan-perundangan nampakanya alasan pemberhentian presiden selain diatur
secara rinci dan limitatif juga tampaknya berkonotasi hukum (rechtmatige) sehingga bila dibandingkan
dengan UUD 1945 sebelum perubahan dapat dikatakan ini merupakan kemajuan negara
indonesia dalam upaya menegakkan supremasi bahwa Indonesia merupakan negara
hukum.
Sedangkan
mengenai mekanisme pemberhentian presiden diatur dalam pasal 7B UUD 1945. Berdasarkan ketentuan
UUD ini, lembaga negara yang diberi kewenangan untuk memberhentikan Presiden
dalam masa jabatan adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Namun sebelum
di putus oleh MPR, proses pemberhentian dimulai dari Proses pengawasan terhadap
Presiden oleh DPR. Apabila dari pengawasan ditemukan adanya pelanggaran hukum
oleh Presiden yang berupa: pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan
dan tindak pidana berat lainnya serta perbuatan tercela atau presiden tidak
lagi memenuhi syarat sebagai presiden, maka DPR dengan dukungan 2/3 jumlah
suara dapat mengajukan usulan pemberhentian Presiden kepada MPR, dengan
terlebih dahulu meminta putusan dari Mahkamah Konstitusi tentang kesimpulan dan
pendapat DPR. Dalam hal ini Mahkamah konstitusi memutuskan bahwa pendapat DPR
tidak berdasarkan hukum, maka proses pemberhentian menjadi gugur dan sebaliknya
jika mahkamah konstitusi membenarkan pendapat DPR, maka DPR tinggal
meneruskannya kepada MPR untuk dijatuhi putusan memberhentian atau tidak
memberhentikan Presiden.[32]
Dengan demikian pemberhentian presiden menurut UUD 1945
melewati tiga lembaga negara yaitu DPR,MK dan MPR. Ketiga lembaga negara ini
memiliki kewenangan berbeda. DPR melakukan penyidikan dan mencari alat
bukti-bukti dan fakta yang mengukuhkan dugaan adanya pelanggaran pasal
pemberhentian serta mengajukan usul pemberhentian kepada MPR. Mahkamah
konstitusi yang mengkaji dari segi hukum dan landasan yuridis alasan
Pemberhentian presiden dan MPR yang akan menjatuhkan vonis politik apakah
Presiden di berhentikan atau tetap memangku Jabatannya.[33]
Jadi dalam pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden
terdapat keterlibatan 4 (empat) lembaga negara yaitu Presiden dan/atau Wakil
Presiden sebagai obyeknya, sedangkan MPR, DPR, dan MK merupakan lembaga yang
berperan aktif dalam mekanisme
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Lebih lanjut lagi Mahfud Md menyatakan bahwa berkenaan
mengenai mekanisme pemberhentian presiden/wakil presiden terdapat dua pendapat,
pertama pendapat yang dikemukakan oleh hajrianto Y. Thohari,
wakil ketua MPR. Menurutnya Impeachment harus dimulai dengan hak menyatakan
pendapat bahwa DPR terkait tuduhan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh
presiden dan wakil presiden. Hak menyatakan pendapat ini harus dilakukan dalam
sidang paripurna di hadiri minimal ¾ anggota yang hadir dan disetujui ¾ anggota
yang hadir. Bila setuju selanjutnya dibentuk pansus, rekomendasi pansus hak
menyatakan pendapat dibahas kembali di paripurna yang dihadiri oleh 2/3 anggota
DPR dan disetujui oleh 2/3 Anggota yang hadir. Bila disetujui (tercapainya Kuorum ) maka DPR akan
meneruskannya ke MK. Kedua ialah pendapat dari pakar hukum pidana UGM, Eddy
O.S.H. bahwa harus ada vonis pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang
menyatakan bahwa presiden/wakil presiden bersalah, untuk dapat dilakukan pengajuan
usul pemakzulan oleh DPR Ke MK.[34]
Nampaknya
pendapat kedua penulis rasa kurang tepat karena bilamana harus didahulu dengan
mekanisme peradilan pidana hal ini di pandang akan menghadapi
permasalahan mengenai legitimasi dan akan mencoreng kehormatan Jabatan Presiden
dan hal ini dapat membahayakan kelangsungan pemerintahan dan hal ini dapat
membahayakan kelangsungan pemerintahan dan kelangsungan negara. Lagipula hal
ini juga akan mempengaruhi proses
peradilan pidana harapannya dengan dilakukannya proses peradilan pidana
setelah proses pemberhentian presiden, peradilan pidana dapat dilakukan secara
fair dan adil. Sehingga lebih tepat bila pemberhentian presiden dalam konteks
peradilan ketatanegaraan terlebih dahulu bari kemudian peradilan pidana guna
pertanggung jawaban presiden karena
melakukan tindak pidana.
Dari penjabaran tersebut tampaknya selamanya mekanisme
Pemberhentian Presiden dalam konteks ketatanegaraan selamanya unsur-unsur
politis berperan Misalkan jika Mahkamah Konstitusi sudah memutuskan Presiden
dan atau Wakil Presiden terbukti bersalah, mengapa MPR masih diberi peluang
untuk tidak menjatuhkan presiden hal yang demikian meskipun alasan
pemberhentian presiden berkonotasi hukum (Rechtmatige)
namun dalam mekanismenya baik dalam hal pengajuan usul oleh DPR maupun
dalam hal penentuan diberhentikan atau tidak di berhentikannya presiden tetap
ada di tangan lembaga politik yakni dalam hal ini Majelis Permusyawaratan
rakyat yang berperan dalam melakukan Vonis Politik. bila kita bandingkan
Pemberhentian Presiden Sebelum Perubahan UUD 1945 dengan sesudah perubahan UUD
1945, unsur-unsur politis selamanya akan ada yang terjadi hanyalah upaya
menyeimbangankan antara unsur hukum dan politik supaya jangan sampai
pemberhentian presiden dilakukan karena kepentingan politik sebagai upaya
menjatuhkan lawab politik dan sebagai upaya mendapatkan kekuasaan hal yang
demikian akan bertentangan dengan filosofi negara kita yang menjunjung hukum (rechtstaat).
C. Impeachment
Presiden Alasan Tindak Pidana Pemberhentian Presiden menurut UUD 1945.
1.
Pengertian Impeachment
Dalam law dictionary, yang dimaksud dengan impeachment adalah an
administrative procedure, defined in the US constitution, under which the
Presiden or another government official is brought up on charges and tried by
the congress and if convicted, is removed from the office. Pengertian ini
tidak jauh berbeda dengan apa yang dicantumkan dalam BLACK’S LAW DICTIONARY,
dimana Impeachment didefinisikan sebagai
the act (by a legislature) of calling for the removal from office of a
public official, accomplished by presenting a written charge of the
official’salleged misconduct.[35]
ataupun undang-undang Federal lainnya.
Selain
itu, menurut Jimly Asshiddiqie dalam
beberapa literatur lain istilah
impeachment berasal dari kata “to impeach”, yang berarti meminta pertanggungjawaban.
Jika tuntutannya terbukti, maka hukumannya adalah “removal from office”, atau pemberhentian dari jabatan. Dengan kata
lain, kata “impeachment” itu sendiri
bukanlah pemberhentian, tetapi baru bersifat penuntutan atas dasar pelanggaran
hukum yang dilakukan. Oleh karena itu, dikatakan Charles L. Black, “Strictly speaking, ‘impeachment’ means
‘accusating’ or ‘charge’.” Artinya, kata
impeachment itu dalam bahasa Indonesia dapat kita alih bahasakan sebagai
pendakwaan atau Tuduhan[36]
Ke
depan, menurut Laica Marzuki tepat kiranya manakala kata diberhentikan,
pemberhentian dalam UUD 1945 diubah menjadi kata dimakzulkan, pemakzulan bagi
Presiden dan Wakil Presiden. Kata makzul, dimakzulkan dan pemakzulan khusus
digunakan bagi Presiden dan Wakil Presiden, bukan terhadap pejabat-pejabat
publik lainnya. Prosedur daripadanya berkaitan belaka dengan prosedur
konstitusi, berbeda dengan pemberhentian pejabat publik pada umumnya. Di
Amerika, impeachment tidak hanya
diberlakukan bagi the President, Vice
President tetapi berdasarkan Article 2,
section 4 US Constitution, juga mencakupi
to accuse of wrongdoing to all
civil officers of the United States. Tidak tepat kiranya menggunakan
nomenclatuur impeachment bagi pemakzulan
Presiden, dan Wakil Presiden, menurut UUD 1945.[37]
1. Pengertian
tindak Pidana
Istilah
"Tindak Pidana" merupakan terjemahan dari bahasa belanda yakni "Strafbaar feit" diantara para
sarjana di indonesia terdapat penggunaan istilah yang berbeda-beda untuk
terjemahan "strafbaar feit" antara
lain "Perbuatan Pidana", "peristiwa Pidana", "Tindak
Pidana" serta istilah "delik" namun umumya dalam buku ini
penulis menggunakan istilah "tindak pidana". Pengertian Tindak Pidana
dapat disimpulkan bahwa Tindak pidana ialah suatu perbuatan manusia yang
dilarang dan di ancam dengan hukuman oleh undang-undang dan perbuatan itu harus
dilakukan oleh orang yang bertanggung jawab. Unsur-Unsur dari tindak pidana
ialah Perbuatan yang melawan hukum, kesalahan serta Pemidanaan[38]
Sedangkan
Moelyatno dalam buku “asas-asas hukum pidana” mengartikan tindak pidana sebagai
Perbuatan yang diancam sanksi berupa pidana, barang siapa melanggar larangan
tersebut. [39]
sebenarnya ada dua pandangan besar yang
meletakkan perbedaan mengenai unsur-unsur Tindak Pidana yakni pandangan monisme
dan dualisme.
Dalam
pandangan monisme pandangan mengenai criminal act dan criminal responsibilities
tidak dipisahkan berikut ini Unsur-unsur Strafbaar feit menurut Pandangan
Monisme :
- Perbuatan manusia (positif/negatif);
- Diancam dengan pidana;
- Melawan hukum;
- Dilakukan dengan kesalahan;
- Dilakukan Oleh orang yg mampu ber Tanggung Jawab.
Sedangkan
dualisme menganut prinsip pembedaan mengenai criminal act yang melekat pada
perbuatan dan criminal responsibilities yang mencangkup dapat atau tidaknya seseorang
dipertanggung jawabkan. Dalam prinsip dualisme hal tersebut dibedakan secara
jelas pemisahannya:
|
|
c.
Alasan Tindak Pidana dalam
Pemberhentian Presiden
Alasan
pemberhentian yang secara tegas dituangkan dalam pasal 7A UUD 1945 berdasarkan
ketentuan UU tersebut ada 2 alasan presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya
yaitu:
1. Melakukan
pelanggaran hukum berupa: penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, dan
tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela.
2. Terbukti
tidak memenuhi syarat sebagai presiden.
Pembahasan
ini tidak menguraikan alasan yang kedua, karena tidak terkait dengan
pelanggaran hukum pidana, mengenai alasan pemberhentian presiden berdasarkan
pelanggaran hukum pidana, UUD 1945 memang tidak merinci apa yang dimaksud
dengan jenis-jenis pelanggaran hukum yang tercantum dalam pasal 7A tersebut.
Namun jika kita merujuk pada pasal 10 ayat (3) UU No 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi dimana UU tersebut memberikan penjelasan tentang
jenis-jenis tindak pidana tersebut yaitu:
a. Pengkhianatan
terhadap negara adalah tindak pidana terhadap keamanan negara sebagaimana
diatur dalam UU.
b. Korupsi
dan penyuapan adalah tindak pidana korupsi atau penyuapan sebagaimana diatur
dalam UU.
c. Tindak
pidana berat lainnya, adalah tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5
tahun atau lebih
d. Perbuatan
tercela adalah perbuatan yang dapat merendahkan martabat presiden dan/atau
wakil presiden.
1. Pengkhianatan
terhadap negara[40]
Pengkhianatan
terhadap negara dalam Undang-undang Mahkamah kontitusi diartikan sebagai tindak
pidana terhadap keamanan negara sebagaimana diatur dalam undang-undang. Hamdan
Zoelva berdasarkan penelitiannya menjelaskan bahwa pengkhianatan terhadap
negara merupakan perbuatan pidana yang dapat mengancam keamanan negara sebagaimana
diatur dalam Titel I Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Pengkhianatan
dalam pandangan Wirjono Prodjodikoro,
ada 2 macam pengkhianatan yaitu pengkhianatan intern (hoogveraad)dan pengkhianatan ekstern (landverraad).
·
Pengkhianatan intern dilakukan dengan tujuan untuk mengubah struktur kenegaraan atau
struktur pemerintahan yang sedang diterapkan dalam suatu negara, contohnya tindak pidana
terhadap kepala negara. Jadi pengkhianatan intern ini berkaitan dengan
keamanan dalam negara (inwendige veiligheid).
·
pengkhianatan ekstern (landverraad)merupakan
pengkhianatan yang dilakukan dengan maksud membahayakan keamanan negara dan hal
tersebut berasal dari serangan luar negeri.
Dalam
titel I Buku II KUHPidana terkumpul setidaknya dua macam pengkhianatan ini,
seolah-olah tidak diadakan pembedaan antara dua macam tindak pidana ini.
Berdasarkan uraian tersebut, maka kejahatan penkhianatan terhadap negara
mencangkup jenis-jenis kejahatan sebagai berikut.
1.
Makar
terhadap kepala negara (Pasal 104)
2.
Makar
untuk memasukkan Indonesia di bawah kekuasaan asing (pasal 106)
3.
Makar
untuk menggulingkan pemerintahan (pasal 107)
4.
Pemberontakan
(pasal 108)
5.
Permufakatan
jahat dan atau penyertaan untuk melakukan kejahatan sebagaimana yang dimaksud
dalam pasal 104.106,107 dan 108 KUHP Pidana
6.
Mengadakan
hubungan dengan negara asing yang bermusuhan dengan indonesia (pasal 111)
7.
Mengadakan
hubungan dengan negara asing dengan tujuan agar negara asing tersebut membantu suatu penggulinggan terhadap
pemerintah di Indonesia.
8.
Menyiarkan
surat-surat rahasia (pasal 112-116)
9.
Kejahatan-kejahatan
mengenai bangunan-bangunan pertahanan negara (pasal 117-120)
10.
Merugikan
negara dalam perundingan diplomatik (pasal 121)
11.
Kejahatan
yang biasanya dilakukan oleh mata-mata musuh (pasal 122-125)
12.
Menyembunyikan
mata-mata musuh (pasal 126)
13.
Menipu
dalam hal menjual barang-barang keperluan tentara
Sedangkan
mengenai kejahatan lainnya disamping kejahatan diatas yang diatur diluar KUHP
ialah terorisme, kejahatan mengenai
upaya penyebaran ajaran komunisme/Maxisme-Leninisme, serta kejahatan yang
bertujuan untuk menghilangkan atau mengubah Pancasila sebdagai dasar negara. (Undang-undang
No.27 Tahun 1999).
2. Korupsi dan Penyuapan[41]
Dalam
ketentuan alasan pemberhentian presiden pasal 7A UUD 1945 Pada kenyataannya
juga dimasukkan alasan tindak pidana yaitu Korupsi dan penyuapan, hal tersebut
didasarkan karena Korupsi dan penyuapan dapat dianggap sebagai tindak pidana
yang sangat membahayakan kepentingan negara dan masyarakat luas apalagi
kaitannya dengan ekonomi dan Pembangunan. Sejak tahun 1983 kurang lebih sudah
dilaksanakan sekitar sepuluh Konvensi Internasional untuk membahas mengenai
kejahatan Korupsi hal ini menunjukkan betapa berbahayanya kejahatan yang
demikian, meskipun dalam tindak pidana korupsi pidana penjaranya berada di
bawah lima tahun. Tindak pidana Korupsi
dalam Undang-undang ini mencangkup 3 kelompok :
pertama mengenai tindak pidana yang diatur
secara umum dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi sebagaimana diubah dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang
Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi (UU Tipikor) :
·
perbuatan
yang secara hukum memperkaya diri endiri atau orang lain atau suatu korporasi
yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
·
perbuatan
yang bertujuan untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya
karena jabatan atau kedudukannya yang
dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dalam Undang-undang
tindak pidana Korupsi
kedua, Tindak pidana korupsi yang
sebelumnya adalah tindak pidana suap yang dilakukan terkait dengan jabatan
pegawai negeri,hakim,advokat dan sebagainya yang diatur dalam KUHP ;jabatan
penyelengaraan negara serta pemborong, ahli bangunan serta pengawas pembangunan yang terkait dengan
kepntingan umum dan kepentingan tentara nasional Indonesia.
Ketiga, tindak pidana lainnya yang berkaitan
dengan tindak pidana korupsi seperti perbuatan
yang dilakukan dengan sengaja mencegah. Merintangi atau menggagalkan
secara langsung maupun tidak langsung penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di
pengadilan terhadap tersangka, terdakwa
ataupun para saksi dalam perkara korupsi, termasuk juga memberikan keterangan
yang tidak benar atau tidak mau memberikan keterangan oleh tersangka saksi,
saksi ahli maupun petugas bank
terkait dengan proses pemeriksaan tindak
pidana korupsi
3. Tindak
Pidana berat lainnya serta perbuatan tercela
Undang-undang
Dasar 1945 Tidak memberikan definisi yang jelas mengenai apa yang dimaksud
denga tindak pidana yang lainnya. Bila kita merujuk pada ketentuan pada pasal
10 ayat (3) UU No 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan. Tindak pidana
berat lainnya dapar diartikan sebagai tindak pidana yang ancaman hukumannya
berupa pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih. Jadi kualifikasi suatu tindak pidana berat
yang dapat dijadikan alasan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden
dibatasi oleh lamanya masa pidana penjara yang diancamkan atas perbuatan
tersebut.
Sedangkan
mengenai “Perbuatan tercela” memiliki makna yang luas yaitu
mencangkup baik pelanggaran hukum pidana di luar pengkhianatan terhadap negara,
korupsi, penyuapan serta tindak pidana lainnya, termasuk pelanggaran
nilai-nilai agama, moral maupun adat. Serta pelanggaran hukum lainnya yang
merendahkan martabat presiden[42]
KESIMPULAN
DAN SARAN
A.
KESIMPULAN
Mekanisme Pemberhentian
Eksekuti dalam hal ini Presiden Dalam masa jabatan ternyata sangat dipengaruhi
dengan bagaimana sistem pemerintahan yang dianut. Dalam sistem ketatanegaraan
indonesia mekanisme Pemberhentian Presiden sebelum dan sesudah Perubahan UUD
1945 mempunyai perbedaan yang cukup mendasar dalam mekanisme sebelum Perubahan
UUD 1945 mekanisme pemberhentian Presiden sangat bernuasa Politik sehingga
Pemberhentian Presiden lebih dipengaruhi oleh Dinamika politik. Apalagi dengan
Alasan Pemberhentian Presiden yakni "Melanggar haluan negara" sangat
multitafsir dan rancu sehingga mekanisme Pertanggungjawabannya ialah
Pertanggungjawaban Politik bukan Pertanggung jawaban Hukum. Berbeda dengan
mekanisme Pemberhentian Presiden Pasca Perubahan UUD 1945 yang berkonotasi
"Rechtmatige" serta diatur
secara rinci dan limitatif. Alasan pemberhentian Presiden berdasarkan pasal 7A
UUD 1945 dibagi menjadi dua , pertama terkait dengan Pelanggaran hukum seperti
Pengkhianatan negara, Korupsi, penyuapan, Tindak pidana berat lainnya dan
perbuatan tercela, kedua terkait bilamana Presiden tidak lagi memenuhi syarat.
Secara keseluruhan Pergeseran alasan perberhentian Presiden dapat dibilang
merupakan perubahan yang sangat baik dalam sistem ketatanegaraan kita
B.
SARAN
jikalau kita menginginkan sebuah sistem Presidensial yang murni maka mau tidak mau jalan-jalan satunya ialah mengadakan amandemen UUD 1945 dengan jalan memurnikan pemisahan yang jelas antara eksekutif dan legislatif sedangkan mengenai pola pemberhentian presiden Perlu ada ketentuan
Baik dalam UU maupun Peraturan yang lebih rendah yg secara khusus mengatur
mengenai mekanisme Pemberhentian. dalam masa jabatannya serta sinkronisasi
secara horizontal maupun vertikal sehingga Pengaturan mengenai Pemberhentian Presiden
dapat Terintegrasi.
DAFTAR
PUSTAKA
BUKU
Asshidiqie, Jimly, 2005, Hukum Tata Negara dan
Pilar-Pilar Demokrasi,Jakarta:KonstitusiPress
Isra,
Saldi, 2010, Pergeseran Fungsi Legislasi “Menguatnya Model Legislasi
Parlementer dalam Sitem Presidensiil Indonesia”, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada
Mawardi,
Arsyad,2013, Pengawasan dan Keseimbangan antara DPR dan Presiden dalam Sistem
Ketatanegaraan “tinjauan Normatif, Empiris,Historis dan Komprehensif”, Semarang
: raSAIL media Group
Mulyosudarmo,
Suwoto 1997, Peralihan Kekuasaan “Kajian Teoritis dan Yuridis terhadap Pidato
Nawaksara” Jakarta : Gramedia Pustaka Utama
Moelyatno,
2008, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta : Rineka Cipta
Sulardi,
2012, Menuju Sistem Presidensiil Murni,
Malang : Penerbit Setara Press
Redaksi
Sinar Grafika, 2015, UUD 1945 Hasil Amademen dan Proses Amandemen UUD 1945
secara Lengkap, Jakarta : Sinar Grafika,
Zoelva,Hamdan,
Impeachment Presiden “alasan tindak pidana dalam pemberhentian presiden menurut
UUD 1945” Jakarta : Konstitusi Press.
JURNAL
Marzuki,
Laica,2010 Pemakzulan Presiden/Wakil Presiden menurut UUD 1945, Jurnal
Konstitusi, Tahun 2010 Vol VII No.1, Jakarta : Mahkamah Konstitusi Negara
Republik Indonesia.
Nadir,
2012, Dilematika putusan mahkamah konstitusi vs kekuatan politik dalam
impeachment presiden, dalam Jurnal
Konstitusi, Volume IX, Nomor 2, Juni 2012, Jakarta : Mahkamah Konstitusi Negara
Republik Indonesia
Lisdhani
Hamdan Siregar, 2012, Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Pemakzulan
Presiden dan/atau wakil Presiden Di
Indonesia, dalam Jurnal Konstitusi Tahun 2012 Vol IX No.2 Jakarta : Mahkamah
Konstitusi Negara Republik Indonesia
INTERNET
https://fristianhumalanggionline.wordpress.com/2012/05/06/pemberhentian-presiden-danatau-wakil-presiden-dalam-masa-jabatannya-menurut-sistem-ketatanegaraan-indonesia.
diakses pada 16 April 2015
[1]
Saldi Isra,2010, Pergeseran Fungsi Legislasi “Menguatnya Model Legislasi
Parlementer dalam Sitem Presidensiil Indonesia”, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada. Hlm :23
[2]ibid.
Hlm :24
[3]
Sulardi, 2012, Menuju Sistem
Presidensiil Murni, Malang : Penerbit Setara Press Hlm :45-46
[4]
Saldi Isra, Loc cit.
[5]
Arsyad Mawardi,2013, Pengawasan dan Keseimbangan antara DPR dan Presiden dalam
Sistem Ketatanegaraan “tinjauan Normatif, Empiris,Historis dan Komprehensif”,
Semarang: raSAIL media Group hlm : 88.
[6]
Saldi Isra, Opcit hlm :38-39
[7]
Sulardi :hlm:17
[8]
Ibid.
[9]
Ibid hlm : 17-18
[10]
Ibid hlm :22
[11]
Saldi Isra, opcit hlm :42
[12]
Ibid hlm :66-67
[13] Laica
Marzuki,2010 Pemakzulan Presiden/Wakil Presiden menurut UUD 1945, Jurnal
Konstitusi, Tahun 2010 Vol VII No.1, Jakarta : Mahkamah Konstitusi Negara
Republik Indonesia, hlm : 25
[14]
Ibid.
[15]
Saldi Isra, Opcit hlm :49
[16]
Suwoto Mulyosudarmo, 1997, Peralihan Kekuasaan “Kajian Teoritis dan Yuridis
terhadap Pidato Nawaksara” Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, Hlm : 26
[17]
Saldi Isra,Opcit hlm : 51
[18]
Ibid.
[19]
Redaksi Sinar Grafika, 2015, UUD 1945 Hasil Amademen dan Proses Amandemen UUD
1945 secara Lengkap, Jakarta : Sinar Grafika, hlm 67-69
[20]
Suwoto Mulyosudarmo, Opcit hlm :35
[21]
Saldi Isra, Opcit Hlm :52
[22]
Ibid.
[23]
Sulardi, Opcit hlm :60
[24]
Ibid hlm :68
[25]
Ibid hlm :74-75
[26]
Ibid hlm :84
[27]
Hamdan Zoelva, Impeachment Presiden “alasan tindak pidana dalam pemberhentian
presiden menurut UUD 1945”, Jakarta : Kontitusi Press, hlm :5-6
[28]Jimly Asshidiqie, 2005, Hukum Tata
Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi,Jakarta:KonstitusiPress hlm:62
[29] Hamdan Zoelva, Opcit hlm: 90-91
[30] Pasal 7 Ketetapan MPR No III
tahun 1978
(1). Dewan
Perwakilan Rakyat yang seluruh Anggotanya adalah Anggota Majelis berkewajiban
senantiasa mengawasi tindakan-tindakan Presiden dalam rangka pelaksanaan Haluan
Negara.
(2). Apabila
Dewan Perwakilan Rakyat menganggap Presiden sungguh melanggar Haluan Negara,
maka Dewan Perwakilan Rakyat menyampaikan memorandum untuk mengingatkan
Presiden.
(3). Apabila dalam waktu tiga bulan Presiden tidak
memperhatikan memorandum Dewan Perwakilan Rakyat tersebut pada ayat (2) pasal
ini, maka Dewan Perwakilan Rakyat menyampaikanmemorandum yang kedua.
(4). Apabila dalam waktu satu bulan memorandum
yang kedua tersebut pada ayat (3) pasal ini,tidak diindahkan oleh Presiden,
maka Dewan Perwakilan Rakyat dapat meminta Majelis mengadakan Sidang istimewa
untuk meminta pertanggungan jawab Presiden.
[31]
Hamdan zoelva opcit hlm: 91
[32]
Ibid hlm : 72
[33]
Ibid Hlm :73
[34]
Sulardi Opcit hlm : 145-146
[35] Lisdhani Hamdan Siregar, 2012,
Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Pemakzulan Presiden dan/atau wakil
Presiden Di Indonesia, dalam Jurnal
Konstitusi Tahun 2012 Vol IX No.2 Jakarta : Mahkamah Konstitusi Negara Republik
Indonesia Hlm : 291
[36]
Nadir, 2012, Dilematika putusan mahkamah konstitusi vs kekuatan politik dalam
impeachment presiden, dalam Jurnal
Konstitusi, Volume IX, Nomor 2, Juni 2012, Jakarta : Mahkamah Konstitusi Negara
Republik Indonesia hlm :337
[37]
Laica marzuki Opcit, hlm : 17.
[38]
Hamdan zoelva, Op Cit hlm : 16-17
[39] Moelyatno,
2008, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta : Rineka Cipta Hlm :59
[40] Hamdan
zoelva, op cit hlm :53-56
[41] ibid
hlm :58-61.
[42]
Ibid hlm 69