OLEH GUSTYA MARGO WALUYO
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Hukum Adat adalah sistem hukum yang dikenal dalam lingkungan kehidupan sosial di Indonesia dan negara-negara Asia lainnya
seperti Jepang, India, dan Tiongkok. Sumbernya adalah
peraturan-peraturan hukum tidak tertulis yang tumbuh dan
berkembang dan dipertahankan dengan kesadaran hukum masyarakatnya. Karena
peraturan-peraturan ini tidak tertulis dan tumbuh kembang, maka
hukum adat memiliki kemampuan menyesuaikan diri dan
elastis. Menurut van vollenhoven, hukum adat
adalah hukum yang tidak bersumber pada peraturan–peraturan yang dibuat oleh
pemerintah hindia belanda dahulu atau alat- alat kekuasaan lainnya yang menjadi
sendinya dan diadakan sendiri oleh kekuasaan belanda dahulu.Kebiasaan atau
adat merupakan pencerminan dari kepribadian suatu bangsa dan penjelmaan
dari jiwa bangsa. Oleh karena itu setiap bangsa memiliki adat dan kebiasaan
sendiri- sendiri yang berbeda satu sama lain, yang mana perbedaaan itu
merupakan unsur penting dalam identitas suatu bangsa. Demikian indonesia,
kebiasaan atau adat yang dimiliki oleh daerah- daerah berbeda satu sama
lain, meskipun dasar atau sifatnya adalah satu yaitu keindonesiaanya.
Kebiasaaan atau adat bangsa indonesia dapat disebut sebagai bhineka tunggal
ika. Demikian pembangunan hukum nasional untuk menciptakan hukum positif pada
hakekatnya adalah usaha modernisasi hukum, agar hukum kita dapat seirama
mengikuti perkembanagan dan kemajuan zaman. Dalam rangka menciptaka hukum
positif harus berakar pada nilai- nilai luhur yang hidup dibumi indonesia ini.
Dalam hal ini hukum adat sebagai cerminan nilai- nilai luhur itu sngat relevan
sebagai landasan pokok, sumber dan bahan hukum nasional yang akan datang dan
menjadi modal utama dalam proses modernisasi hukum.[1]
Sebagaimana yang
kita ketahui Indonesia adalah Negara kepulauan yang
terletak pada garis khatulistiwa,
di antara samudera lautan teduh dan samudera Indonesia. Penduduk yang berdiam
dan berasal dari pulau-pulau itu bermacam ragam adat budaya hukum adatnya.
Berbeda-beda karena sejarah perkembangan budayanya dari zaman Melayu Polinesia,
pergaulan hidup, tempat kediaman dan lingkungan alamnya berbeda. Ada
masyratakat yang lebih banyak dipengaruhi tradisi polinesia, ada yang lebih
banyak dipengaruhi agama Hindu, Islam, dan Kristen. Dengan lahirnya Republik
Indonesia maka terwujudlah satu kesatuan cita dari berbagai masyarakat adat
yang berbeda-beda, sehingga menjadi “Bhinneka Tunggal Ika”, wallaupun
berbeda-beda menjadi satu kesatuan dalam wadah Negara Pancasila.
Apabila kita sukar untuk menentukan
bagaimana ciri-ciri rupa orang Indonesia, begitu pula kita akan sukar
mengemukakan bagaimana ciri-ciri hukum perkawinan adat yang berlaku dalam
berbagai lingkungan masyarakat adat. Hal mana ditunjukkan oleh berbagai macam
alat perlengkapan yang menyertai suatu upacara perkawinan. Dari pakaian
mempelai yang serba macam menunjukkan latara belakang hukum perkawinana adat
yang berbeda di kalangan masyarakat bangsa Indonesia.
Salah satu Perkawinan adat yang cukup menarik di
Indonesia adalah Kawin sebambangan di daerah provinsi lampung.Seringkali adat
ini disebut “kawin lari” membuat banyak orang awam terkecoh, menstigma negatif
dan mengganggap perkawinan tersebut bertentangan dengan hukum positif. sesuai
dengan ketentuan pasal 320 KUHP ayat (1)
“(1) Bersalah
melarikan wanita diancam dengan pidana penjara;
1. paling lama tujuh tahun, barang siapa membawa pergi
seorang wanita yang belum dewasa, tanpa dikehendaki orang tuanya atau walinya
tetapi dengan persetujuannya. dengan maksud untuk memastikan penguasaan
terhadap wanita itu, baik di dalam maupun di luar perkawinan;
2. paling lama sembilan tahun, barang siapa membawa
pergi seorang wanita dengan tipu muslihat, kekerasan atau ancaman kekerasan,
dengan maksud untuk memastikan penguasaannya terhadap wanita itu, baik di dalam
maupun di luar perkawinan.”
Yang tentunya
pula bertentangan dengan UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan maupun hukum
agama (islam) dikarenakan tidak ada persetujuan wali dan syarat maupun rukun
perkawinan yang tidak terpenuhi. Maka untuk itu perlu pemahaman dan kajian
lebih lanjut apa definisi yang benar dari Kawin sebambangan agar kita tidak
terjebak dan berkesimpulan secara a-priori menyatakan bahwa kawin sebambangan
adat lampung adalah sama dengan kawin lari dan apakah Perkawinan adat ini
bertentangan atau tidak dengan hukum Positif Tentunya akan menjadi sebuah
bahasan yang menarik untuk di telusuri.
Catatan :
Hukum agama (islam) tentang perkawinan sendiri sudah di akomodasi oleh UU No.1
Tahun 1974 tentang perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) sehingga penulis
tidak akan terlalu dalam mengkaji Pandangan Hukum agama (islam) tentang
perkawinan adat sebambangan lampung.
B. PERUMUSAN MASALAH
1. Apakah
pengertian hukum, adat dan
hukum adat,hukum positif,hukum
islam,perkawinan dan perkawinan adat?
2. Apa itu
kawin sebambangan dan bagaimana adat kawin sebambangan di daerah lampung ?
3.
bagaimanakah korelasinya perkawinan tersebut dengan Hukum positif khususnya UU No 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan maupun ketentuan Hukum lainnya ataupun Hukum agama (islam) apakah
bertentangan ?
C. TUJUAN PENULISAN
1. Memenuhi Tugas Makalah Hukum Adat
2. Mengetahui dan memahami perkawinan adat sebambangan
serta korelasinya dengan ketentuan hukum lainnya
3. Mensintesiskan suatu konklusi yang jelas dan pasti
mengenai topik bahasan yang dibahas.
D. MANFAAT PENULISAN
Sebagai media
pembelajaran pembaca baik secara teoritis maupun praktis sehingga pembaca mampu
mengetahui dan mengetahui secara jelas perkawinan adat sebambangan lampung dan
dan korelasinya dengan hukum positif maupun hukum agama (islam) secara baik.
E. METODE PENULISAN
Metode penulisan
dengan sendiri dilakukan dengan cara menghubungkan perkawinan adat sebambangan
lampung dengan ketentuan hukum postif yang berlaku di Indonesia sehingga
menghasilkan sebuah Output (sintesis). Sedangkan pengumpulan data dilakukan
dengan telah pustaka melalui yaitu Buku dan internet.
BAB II
PEMBAHASAN
- pengertian hukum, adat dan hukum adat,hukum positif,hukum islam,perkawinan dan perkawinan adat.
1.Hukum
Istilah “hukum”
di Indonesia berasal dari bahasa Arab qonun
atau ahkam atau hukm yang mempunyai arti “hukum”.Beberapa definisi hukum
menurut para ahli hukum adalah sebagai berikut.
a. hukum
adalah peraturan yang bersifat memaksa yang diadakan untuk melindungi kepentingan
orang dalam masyarakat.
b. Paul
Scholten dalam bukunya Algemeen Deel
menyatakan, bahwa hukum itu suatu petunjuk tentang apa yang layak dikerjakan
apa yang tidak, jadi hukum itu bersifat suatu perintah.
c. Menurut
Bellefroid, hukum yang berlaku
di sesuatu masyarakat bertujuan bengatur tata tertib mayarakat itu dan
didasarkan atas kekuasaan yang ada dalam masyarakat itu.
d. Hukum
adalah sebagai rangkaian
peraturan-peraturan mengenai tingkah laku orang-orang sebagai suatu anggota
masyarakat.
e. Menurut
Mochtar Kusumaatmadha, hukum adalah keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah
yang mengatur hubungan manusia dalam masyarakat. Pada panel diskusi V Majelis
Hukum Indonesia, beliau mengatakan baha hukum adalah keseluruhan asas-asas dan
kaidah-kaidah yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat dan juga
meliputi lembaga-lembaga, institutions,
dan proses-proses yang mewujudkan berlakunya kaidah itu dalma masyarakat
sebagai suatu kenyataan.
f. Hukum
adalah petunjuk hidup, perintah, dan larangan yang mengatur tata tertib dalam
suatu masyarakat, dan seharusnya ditaati oleh masyarakat yang bersangkutan,
oleh karena pelanggaran petunjuk hidup tersebut dapat menimbulkan tindakan oelh
pemerintah atau penguasa masyarakat itu.
g. Hukum
adalah keseluruhan kumpulan peraturan atau kaidah dalam suatu kehidupan
bersama: keseluruhan peraturan tentang tingkah laku yang berlaku dalam suatu
kehidupan bersama, yang dapat dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi.
h. Hukum
ialah peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku
manusia dalam lingkungan masyarakat yang dibuat oleh badan-badan resmi yang
berwajib, pelanggaran mana terhadap peraturan-peraturan tadi berakibat
diambilnya tindakan, yaitu dengan hukuman yang tertentu.
i. Hukum
adalah himpunan peraturan hidup yang bersifat memaksa, berisikan suatu
perintah, larangan atau perizinan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu
serta dengan maksud untuk mengatur tata tertib dalam kehidupan bermasyarakat.
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan,
bahwa hukum adalah keseluruhan peraturan atau norma hukum yang mengatur
hubungan antara manusia dalam kehidupan bermasyarakat, dan barangsiapa yang
melanggar norma hukum dapat dijatuhi sanksi atau dituntu oleh pihak yang
berwenang atau oleh pihak yang hak-haknya dirugikan.[2]
2. Adat dan Hukum Adat
Apa yang
dimaksud dengan adat ? Istilah adat berasal
dari bahasa Arab,
yang apabila diterjemahkan
dalam Bahasa Indonesia berarti “kebiasaan”.
Adat atau
kebiasaan telah meresap
kedalam Bahasa Indonesia,
sehingga hampir semua bahasa
daerah di Indonesia telah menganal dan menggunakan istilah
tersebut. Adat atau kebiasaan dapat diartikan sebagai berikut :
“Tingkah laku
seseoarang yang terus-menerus dilakukan
dengan cara tertentu dan diikuti oleh
masyarakat luar dalam waktu yang lama”.
Dengan demikian unsure-unsur terciptanya adat adalah :
1. Adanya
tingkah laku seseorang
2. Dilakukan
terus-menerus
3. Adanya
dimensi waktu.
4. Diikuti oleh
orang lain/ masyarakat.
Pengertian adat-istiadat
menyangkut sikap dan
kelakuan seseorang yang diikuti
oleh orang lain
dalam suatu proses
waktu yang cukup
lama, ini menunjukkan begitu
luasnya pengertian adat-iatiadat
tersebut. Tiap-tiap
masyarakat atau Bangsa
dan Negara memiliki
adat-istiadat sendiri-sendiri,
yang satu satu dengan yang lainnya pasti tidak sama.
Sedangkan Istilah hukum
adat sebenarnya tidak
dikenal didalam masyarakat,
dan masyarakat hanya mengenal kata “adat” atau kebiasaan. Adat Recht
yang diterjemahkan menjadi
Hukum Adat dapatkah
dialihkan menjadi Hukum Kebiasaan. Lalu Apakah hukum adat itu ?
Untuk mendapatkan gambaran apa yang dimaksud dengan hukum adat, maka perlu kita
telaah beberapa pendapat sebagai berikut :
1. Prof. Mr. B.
Terhaar Bzn
Hukum adat adalah
keseluruhan peraturan yang
menjelma dalam
keputusan-keputusan dari kepala-kepala
adat dan berlaku
secara spontan dalam masyarakat.
Terhaar
terkenal dengan teori
“Keputusan” artinya bahwa
untuk melihat apakah sesuatu adat-istiadat itu sudah merupakan hukum
adat, maka perlu melihat dari sikap
penguasa masyarakat hukum
terhadap sipelanggar peraturan
adat-istiadat. Apabila penguasa menjatuhkan
putusan hukuman terhadap
sipelanggar maka adat-istiadat itu sudah merupakan hukum adat.
2. Prof. Mr.
Cornelis van Vollen Hoven
Hukum adat adalah
keseluruhan aturan tingkah
laku masyarakat yang berlaku dan mempunyai sanksi dan belum
dikodifikasikan.
3. Dr. Sukanto,
S.H.
Hukum adat adalah
kompleks adat-adat yang
pada umumnya tidak dikitabkan, tidak dikodifikasikan dan bersifat paksaan,
mempunyai sanksi jadi mempunyai akibat hukum.
4. Mr. J.H.P.
Bellefroit
Hukum adat sebagai
peraturan-peraturan hidup yang
meskipun tidak diundangkan oleh
penguasa, tetapi tetap dihormati dan ditaati oleh rakyat
dengan keyakinan bahwa
peraturan-peraturan tersebut berlaku
sebagai hukum.
5. Prof. M.M.
Djojodigoeno, S.H.
Hukum adat adalah
hukum yang tidak
bersumber kepada peraturan-
peraturan.
6. Prof. Dr.
Hazairin
Hukum adat adalah
endapan kesusilaan dalam masyarakat yaitu
kaidah-kaidah kesusialaan yang kebenarannya telah mendapat pengakuan umum dalam
masyarakat itu.
7. Soeroyo
Wignyodipuro, S.H.
Hukum adat adalah
suatu kompleks norma-norma
yang bersumber pada perasaan keadilan rakyat yang selalu
berkembang serta meliputi peraturan-peraturan
tingkah laku manusia
dalam kehidupan sehari-hari
dalam masyarakat, sebagaian besar tidak tertulis, senantiasa ditaati dan
dihormati oleh rakyat karena mempunyai akibat hukum ( sanksi ).
8. Prof. Dr.
Soepomo, S.H.
Hukum adat adalah hukum
tidak tertulis didalam
peraturan tidak tertulis, meliputi peraturan-peraturan hidup
yang meskipun tidak ditetapkan
oleh yang berwajib tetapi
ditaati dan didukung
oleh rakyat berdasarkan
atas keyakinan bahwasanya peraturan-peraturan tersebut mempunyai kekuatan hukum.
Dari
batasan-batasan yang dikemukakan
di atas, maka terlihat
unsure-unsur dari pada hukum adat sebagai berikut :
1. Adanya
tingkah laku yang terus menerus dilakukan oleh masyaraka.
2. Tingkah laku
tersebut teratur dan sistematis
3. Tingkah laku
tersebut mempunyai nilai sacral
4. Adanya
keputusan kepala adat
5. Adanya
sanksi/ akibat hukum
6. Tidak tertulis
7. Ditaati
dalam masyarakat[3]
Catatan : definisi Hukum adat berdasarkan pendapat Ter
Haar sengaja saya cetak miring dan di tebalkan, karena Perkawinan Adat
Sebambangan masyarakat Lampung dapat dikatakan sebagai Hukum Adat karena
definisi tersebut (menitikberatkankannys).untuk memahami lebih lanjut mengenai
pandangan saya ini. Akan saya jelaskan di bagian Pembahasan Bab B.
3. Hukum Positif
Secara a
contrario kita dapat mengambil definisi Dari Hukum adat Prof Soepomo. bila
menurut Prof Soepomo Hukum adat adalah hukum
tidak tertulis didalam
peraturan tidak tertulis, meliputi peraturan-peraturan hidup
yang meskipun tidak ditetapkan
oleh yang berwajib tetapi
ditaati dan didukung
oleh rakyat berdasarkan
atas keyakinan bahwasanya peraturan-peraturan tersebut mempunyai kekuatan hukum.
Maka Hukum
positif adalah hukum yang tertulis yang mana telah melalui prosedur teknis
pembuatan perundang-undangan dan berlaku di tempat dan waktu tertentu ( Ius Constitutum ). Contohnya dalam kajian
pembahasan makalah ini adalah UU Perkawinan ataupun UUD 1945.
4.
Hukum Islam
Hukum islam
adalah Hukum yang mengatur hubungan antara manusia
dengan Tuhan (Allah) yang disebut ibadah mahdloh,
dan hubungan antara sesama manusia dan lingkungannya yang disebut ghoiru mahdloh (muamalah) yang dilandasi oleh/ berdasarkan syariat Islam. Adapun
yang dimaksud hukum Islam adalah hukum Islam yang mengatur hubungan antara
sesama manusia (muamalah), di
antaranya adalah dasar-dasar hukum perkawinan Islam, waris Islam, dan hukum wakaf.[4]
5.
Perkawinan dan
Perkawinan Adat
Berdasarkan
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga atau
rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa
Lalu, apa yang
sebetulnya dimaksud dengan perkawinan adat? Ini merupakan suatu bentuk hidup bersama yang langgeng
lestari antara seorang prian dan wanita yang
diakui oleh persekutuan adat. Berkenaan dengan adanya hubungan yang tepat
dari topik ini, maka menurut hukum adat pada umumnya di Indonesia perkawinan
itu bukan saja berarti sebagai perikatan perdata akan tetapi pula merupakan
perikatan adat dan sekaligus merupakan perikatan kekerabatan dan kekluargaan.
Artinya bahwa terjadinya suatu ikatan perkawinan bukan semata-mata membawa
akibat terhadap hubungan-hubungan keperdataan, seperti hak dan kewajiban
suami-isteri, harta bersama, kedudukan anak, hak dan kewajiban orang tua, tapi
juga menyangkut hubungan-hubungan adat istiadat, kewarisan keluarga, dan
kekerabatan serta menyangkut upacara-upacara adat dan keagamaan. Sebab itu,
Imam Sudiyat dalam buku Hukum Adat mengatakan bahwa menurut hukum adat
perkawinan biasa merupakan urusan kekerabatan, keluarga, persekutuan, martabak,
bisa merupakan urusan pribadi bergantung pada susunan masyarakat ( Imam
Sudiyat: 1991: 17 ).
Jadi Perkawinan dalam arti perikatan
adat ialah perkawinan yang mempunyai akibat hukum terhadap hukum adat yang
berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Akibat hukum ini telah ada sejak
sebelum perkawinan terjadi, yaitu misalnya dengan adanya hubungan pelamaran
yang merupakan rasa senak ( hubungan anak-anak, bujang gadis ) dan rasa tuha (
hubungan orang tua keluarga dari pada calon suami istri ). Setelah terjadinya
ikatan perkawinan maka timbul hak-hak dan kewajiban orang tua termaksud anggota
keluarga , kerabat menurut hukum adat setempat yaitu dengan pelaksanaan upacara
adat dan selanjutnya dalam peran serta membina dan memelihara kerukunan,
keutuhan dan kelenggengan dari kehidupan anak-anak mereka yang terlibat dalam
perkawinan.
- Definisi Kawin Sebambangan Adat Lampung dan Tata Cara Pelaksanaannya.
Adat sebambangan, kini tidak sedikit
pihak yang memandang negatif, dengan alasan meresahkan orang lain, memaksakan
kehendak dan bertentangan dengan hukum. Timbulnya pandangan negatif ini karena
sebambangan diartikan sebagai tindakan melarikan (menculik) seorang gadis tanpa
sepengetahuan dan persetujuan orang tuanya, serta tidak melalui musyawarah dengan
penyimpang adat setempat.
Tindakan itulah yang dipandang bertentangan dengan hukum, kriminal, bahkan melanggar Syariat Islam. Hal ini perlu sedikit koreksi, karena tidak demikian pengertian, maksud dan tujuan sebambangan menurut ketentuan adat Lampung.
Tindakan itulah yang dipandang bertentangan dengan hukum, kriminal, bahkan melanggar Syariat Islam. Hal ini perlu sedikit koreksi, karena tidak demikian pengertian, maksud dan tujuan sebambangan menurut ketentuan adat Lampung.
Menyimak pendapat sebagian pengamat dan
peneliti budaya Lampung, yang diantaranya menyatakan bahwa adat sebambagan sama
dengan kawin lari, yaitu melarikan gadis untuk dinikahi tanpa prosedur adat,
tanpa sepengetahuan dan persetujuan orang tua, kerabat, termasuk penyimbang
adatnya. Akibatnya adat sebambangan dianggap negatif, melanggar hukum dan dicap
sebagai tindakan kriminal. Akhirnya citra adat sebambangan ini menjadi buruk
dimata masyarakat, terutama pihak yang tidak memahami filosofi dan makna
sebambangan sebenarnya. Tapi
meski demikian bisa dimaklumi, krn upaya menggali dan memahami hakikat adat
budaya lokal secara arif memang tidak mudah. Penelitian awal pendekatan sosial,
belum menjamin dapat menjaring data yang benar, lengkap dan akurat. Terlebih
data yang diperoleh tidak bersumber dari penyimbang adat pemegang/penglaku
pemerintahan adat original yang mengetahui dengan benar syarat dan prosedur
adat sebambangan itu. Oleh karenanya lumrah jika informasi yang diperoleh belum
menyentuh makna dan tujuan adat sebambangan yang sebenarnya.[5]
Sebenarnya perkawinan Sebambangan
adalah adat lampung yang mengatur pelarian gadis oleh bujang ke rumah kepala
adat untuk meminta persetujuan dari orang tua si gadis, melalui musyawarah adat
antara kepala adat dengan kedua orang tua dari calon mempelai, sehingga diambil
kesepakatan dan persetujuan antara kedua orang tua tersebut.
Berbeda dari istilah Kawin Lari yang
dapat diartikan sebagai pelarian gadis oleh seorang bujang yang biasanya dapat
langsung terjadi pernikahan tanpa ada musyawarah adat atau persetujuan orang
tua si gadis, hal ini tentu bertentangan dengan Syariat Islam.
Lain halnya dengan Sebambangan yang
sengaja diatur oleh hukum adat serta perangkat adat, yang memang diatur untuk
tidak bertentangan dengan Syariat Islam. Sebambangan dapat juga di artikan
untuk memberikan kebebasan kepada bujang atau gadis untuk dapat memilih
jodohnya sendiri.
Peraturan Ngebambang
Hal-hal yang diatur dalam Ngebambang adalah sebagai berikut:
- Gadis dilarikan oleh bujang (meskipun dalam satu kampung atau dekat rumahnya) ke rumah Kepala Adat si bujang. Dalam melarikan itu si bujang biasanya dibantu oleh beberapa orang dari keluarga si bujang dengan secara rahasia, sedang perempuan jika jaraknya jauh (keluar kampung) biasanya membawa kawan gadis yang dinamakan “Penakau”.
- Ketika gadis itu akan pergi, harus meninggalkan uang yang diberi oleh si bujang tersebut sebanyak yang diminta oleh si gadis yang dinamakan ”Pangluahan” (pengeluaran), dan meninggalkan surat sebagai isyarat bahwa si gadis telah pergi “Nyakak” (dilarikan oleh si bujang).
- Sesampainya gadis di rumah Kepala Adat kelompok bujang, pihak keluarga bujang melakuakn pemberitahuan, sambil membawa uang sebesar beberapa rupiah kepada Kepala Adat pihak perempuan yang dinamakan “Uang Penekhangan”.
- Jika gadis sudah berada di rumah Kepala Adat kelompok bujang, maka gadis tesebut diberi perlindungan dan tidak boleh diganggu gugat oleh keluarga si gadis atau untuk diambil kembali. Jika terjadi pengambilan kembali sebenarnya telah melanggar adat. Lama gadis itu berdiam dirumah Kepala Adat si bujang, biasanya menurut hitungan hari ganjil, yaitu 1, 3, 5, atau 7 hari (malam).
- Biasanya keluarga si gadis menurut adat akan mencari anak gadisnya (meskipun sudah tahu) ketempat di mana bunyi surat anaknya menunjukkan ia dilarikan bujang, ini dinamakan ”Nyussui Luut” (mencari jejak). Hal itu dilakukan dalam jangka paling lama 7 malam (jika tempat si gadis dan si bujang berjauhan).
- Jika dalam tempo 7 malam keluarga si gadis tidak mencari anaknya (nyussul luut), maka keluarga bujanglah yang datang ke rumah si gadis menerangkan kesalahan-kesalahan karena melarikan anaknya. Biasanya keluarga si gadis akan menuntut denda atas pelarian anaknya (sebenarnya permintaan denda tersebut sebagai istilah atau basa-basi saja, karena denda tersebut akhirnya akan kembali juga kepada kedua mempelai, baik digunakan untuk hajatan "manjau pedom" (pesta pernerimaan tamu dari pihak si bujang lepas perkawinan) maupun digunakan untuk pembeli alat-alat rumah tangga sebagai banatok (perabot rumah tangga yang dibawa oleh pengantin wanita (Maju).
- Jika perundingan antara kedua keluarga pihak bujang dan si gadis telah cukup maka ditentukanlah waktu perkawainan (aqad pernikahan).[6]
Sesungguhnya
Masyarakat adat lampung bukan tidak mengenal cara-cara lain yang mengantarkan
jalinan kasih mereka ke pelaminan. Seperti melalui pelamaran dan sebagainya.
Namun bagi sebagian orang sebambangan merupakan cara atau pilihan terbaik dalam
mengantarkan cinta mereka kejenjang pernikahan. Ada beberapa alasan mereka
kenapa harus melalui sebambangan yaitu;
A.
untuk mengatasi permasalahan cinta
yang kurang mendapat restu dari orang tua.
B. sebagai jalan alternatif dan tercepat yang mengantarkan rasan ke jenjang pernikahan.
C. untuk menghormati dan menghargai rasa cinta itu sendiri karena cinta
merupakan hak dasar yang dimiliki oleh setiap orang.[7]
Jadi
bilamana kita secara gamblang telah mengetahui apa bagaimana perkawinan adat sebambangan masyarakat daerah
lampung maka kita dapat dikatakan kalau pengertian Perkawinan adat Sebambangan
masyarakat lampung dapat dikatakan Telah menjelma menjadi Hukum adat setempat.
Saya menyimpulkan demikian karena Term dari Perkawinan adat Sebambangan lampung yakni adalah adat lampung yang mengatur
pelarian gadis oleh bujang ke rumah kepala adat untuk meminta persetujuan dari
orang tua si gadis, melalui musyawarah adat antara kepala adat dengan kedua
orang tua dari calon mempelai, sehingga diambil kesepakatan dan persetujuan
antara kedua orang tua tersebut. Bila kita hubungan melalui ajaran Ter
Haar tentang teori keputusan bahwasannya Hukum adat
adalah keseluruhan peraturan
yang menjelma dalam keputusan-keputusan dari
kepala-kepala adat dan
berlaku secara spontan dalam masyarakat. Maka Adat
dapat dikatakan hukum adat bilamana Adat itu menjelma dari keputusan Adat (
baik dari kepala adat maupun musyawarah adat ) serta menimbulkan akibat
hukum.seperti yang telah kita ketahui bahwa dalam perkawinan sebambangan baru
diakui sebagai perkawinan yang sah bilamana telah di putus oleh kepala adat
maupun dari musyawarah adat yang berujung pada akad nikah sesuai ketentuan
agama. Maka ketersahan Perkawinanan itulah akibat hukumnya.
Setelah kita
mengetahui secara jelas apa itu perkawinan adat sebambangan lampung dan
menyimpulkan bahwa adat tersebut telah menjelma menjadi Hukum adat. Maka
kita akan mengkorelasikannya dengan Hukum positif. Apakah Perkawinan tersebut
bertentangan dengan kaidah hukum positif dan bagaimanakah kedudukan perkawinan
adat tersebut dalam tata hukum nasional kita ?. untuk itulah mari kita menuju
ke Pembahasan Bab C.
C . Tinjauan Yuridis Kedudukan Perkawinan adat
sebambangan Lampung menurut Hukum Positif
Berdasarkan
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga atau
rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa. Jadi unsur-unsurnya adalah
·
Ikatan lahir batin
·
Antara seorang pria dengan seorang wanita
·
Sebagai suami-istri
·
Dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal
·
Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa
Lalu kita bandingkan dengan
pengertian Perkawinan sebambangan. perkawinan Sebambangan adalah adat
lampung yang mengatur pelarian gadis oleh bujang ke rumah kepala adat untuk
meminta persetujuan dari orang tua si gadis, melalui musyawarah adat antara
kepala adat dengan kedua orang tua dari calon mempelai, sehingga diambil kesepakatan
dan persetujuan antara kedua orang tua tersebut.
Jadi
perkawinan sebambangan Pada dasarnya hanya merupakan prosesi sebuah perkawinan
dengan Nuansa adat dikarenakan tujuan tertentu sehingga berbeda dengan prosesi
perkawinan pada umumnya. Ada beberapa alasan mereka kenapa
harus melalui sebambangan yaitu;
·
untuk mengatasi permasalahan cinta
yang kurang mendapat restu dari orang tua.
·
sebagai jalan alternatif dan
tercepat yang mengantarkan rasan ke
jenjang pernikahan.
·
untuk menghormati dan menghargai
rasa cinta itu sendiri karena cinta merupakan hak dasar yang dimiliki oleh
setiap orang.
Pada prosesi
terakhir perkawinan sebambangan ini yaitu Jika perundingan antara kedua
keluarga pihak bujang dan si gadis telah cukup maka ditentukanlah waktu perkawinan
(aqad pernikahan). Maka disaat akad nikah itulah perkawinan antara keduanya
dianggap sah menurut agama artinya status mereka telah diakui sebagai suami
istri. Dalam hal ini rukun pernikahan ada lima,
yaitu: suami, istri. Wali, dua orang saksi, dan kalimat pernikahan (ijab dan
qabul).
1. Calon
suami dan syaratnya
Bagi calon suami disyaratkan: tidak
dalam keadaan berihram, tidak atas paksaan, orangnya telah ditentukan dengan
jelas, mengerti calon istri sebagai perempuan yang halal dinikahi (bukan
mahram). Maka tidaklah sah akad nikah oleh:
a. Muhrim,
meskipun diwakilkan (kepada orang yang tidak sedang berihram)
b. Orang
yang dipaksa
c. Orang
yang belum ditentukan dengan jelas
d. Orang
yang belum mengerti bahwa calon istrinya halal dinikahi (tidak bersuami/ dalam
masa iddah).
2. Calon
istri dan syaratnya
Adapun syarat bagi calon istri, adalah:
a. Tidak
berstatus sebagai istri (laki-laki lain)
b. Tidak
dalam masa iddah
c. Jelas
orangya
d.
Tidak semahram (dalam nasab atau persaudaraan)
3. Wali
dari calon pengantin perempuan
Untuk menjadi wali nikah, seseorang
harus memnuhi beberapa syarat yaitu: laki-laki, dewasa, waras akalnya, tidak
dipaksa, adil, dan tidak sedang ihram haji.
4. Saksi
dan syaratnya
Sedang syarat dua orang saksi, yaitu:
laki-laki, ‘adalah (muslim mukallaf yang tidak fasik), tidak tuli, tidak bisu,
tidak buta, bebas (tidak dipaksa), tidak sedang ihram haji dan memahami bahasa
yang diucapkan dua orang yang berakad (ijab dan qabul), dan tidak berperan
sebagai wali.
5. Ijab
dan Qabul
Akad nikah ialah rangkaian ijab
(penyerahan) yang diucapkan oleh wali dan qabul (penerimaan yang diucapkan oleh
mempelai pria atau wakilnya disaksikan oleh dua orang saksi.[8]
Bandingkan dengan ketentuan
syarat-syarat perkawinan menurut UU Perkawinan
Pasal 6
(1) Perkawinan didasarkan atas persetujuan kedua calon
mempelai.
(2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21
(dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
(3) Dalam hal seorang dari kedua orang tua meninggal dunia atau dalam
keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya,
maka izin yang dimaksud
ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau
dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.
(4) dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan
tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali orang yang memelihara atau keluarga yang
mempunyai hubungan darah dalam garis
keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan menyatakan
kehendaknya.
(5) Dalam hal ada perbedaan antara orang-orang yang dimaksud dalam ayat
(2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah
seorang atau lebih diantara mereka tidak
menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan
dalam daerah tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan ijin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang
yang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) dalam pasal ini.
(6) Ketentuan tersebut ayat (1)
sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukun masing-masing agamanya
dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.
Pasal 7
(1) Perkawinan hanya diizinkan bila pihak pria mencapai umur 19
(sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 (enam belas)
tahun.
(2) Dalam hal penyimpangan dalam ayat (1) pasal ini
dapat minta dispensasi kepada Pengadilan
atau pejabat lain yang
diminta oleh kedua orang tua pihak pria atau pihak wanita.
(3) Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua
orang tua tersebut pasal 6 ayat (3) dan (4)
Undang-undang ini, berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi tersebut ayat
(2) pasal ini dengan tidak mengurangi yang dimaksud dalam pasal 6 ayat (6).
Catatan : Pasal yang saya tebalkan tulisannya adalah
titik beratnya,artinya dalam hal perkawinanan Sebambangan sebagai landasan
hukum yang paling utama diantara pasal lainnya
Sebenarnya Bila pada prosesi akad nikah Terpenuhi rukun-rukun
perkawinan sebagaimana ketentuan Hukum Agamanya (islam) maka perkawinan
tersebut tidak bertentangan dengan hukum agama (islam).maupun Hukum
Positif,kenapa pula dikatakan tidak bertentangan dengan hukum positif dalam hal
ini Berkaitan dengan UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Bersandar pada
ketentuan pasal Pasal 2 ayat (1) UUP
(1) Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut
hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.
Namun tentunya tetap saja perkawinan sebambangan belum
sah secara Hukum. Sah secara hukum bilamana perkawinan itu telah dicatatkan di
KUA.
Pasal 2 UUP
(2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Sebagaimana yang telah ketahui
sebelumnya bahwa dalam adat
sebambangan yang sebenarnya, tidak ada unsur pemaksaan atau melarikan secara
sepihak oleh bujang terhadap Gadis,
melainkan dilakukan atas kesepakatan bersama, bahkan (meski rahasia) disetujui
dan seizin orang tua pihak gadis. Tentu fenomena ini telah disadari bersama
bahwa jika melalui adat perkawinan jujur (pelamaran) memerlukan waktu, tenaga,
biaya dan sarana yang mahal, maka dengan sebambangan kelemahan itu dapat
dihindari. Hal ini justru menjadi sumber motivasi bagi kedua-belah pihak untuk
melakukan silaturahmi, musyawarah, berdamai untuk mencapai kesepakatan dan
solusi yang meringankan.
Karena tidak ada paksaan dan Perkawinan Sebambangan
bukanlah “kawin lari” sebagaimana yang di bilang orang banyak ( orang awam )
Jadi gugurlah ketentuan pasal 320 KUHP
ayat (1) berbunyi sebagai berikut.
“(1) Bersalah
melarikan wanita diancam dengan pidana penjara;
1. paling lama tujuh tahun, barang siapa membawa pergi
seorang wanita yang belum dewasa, tanpa dikehendaki orang tuanya atau walinya
tetapi dengan persetujuannya. dengan maksud untuk memastikan penguasaan
terhadap wanita itu, baik di dalam maupun di luar perkawinan;
2. paling lama sembilan tahun, barang siapa membawa
pergi seorang wanita dengan tipu muslihat, kekerasan atau ancaman kekerasan,
dengan maksud untuk memastikan penguasaannya terhadap wanita itu, baik di dalam
maupun di luar perkawinan.”
Secara
harfiah dan tata caranya yang sudah saya
jelaskan sebelumnya jelas sekali; 'sebambangan' adalah
'sangat berbeda' dengan kawin lari
Sebambangan
hanyalah suatu proses membawa gadis (secara rahasia) kerumah pemangku adat,
agar terjadi musyawarah, sebelum akad nikah. dan bukan melarikan si gadis untuk
di nikahi tanpa persetujuan kedua orang tua.
Jadi sepanjang rukun-rukun Perkawinan maupun syarat-syarat perkawinan Hukum
agama maupun Hukum positif terpenuhi maka perkawinan adat sebambangan tidak
bertentangan dengan hukum Positif (UUP).
Jadi kedudukan Perkawinan adat sebambangan lampung
bilamana sesuai dengan tata cara pelaksanaan sebagaimana mestinya menurut
ketentuan UUD 1945
Pasal 18B
(2) Negara
mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta
hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam
undang-undang.
Dapat saya simpulkan bahwasanya Perkawinan adat
sebambangan tidaklah bertentangan dengan ketentuan UU Perkawinan. maka bilamana
itu sesuai dan tidak bertentangan dengan kaidah hukum positif (Ius Constitutum) wajiblah di hormati
kedudukannya dan ditempatkan atau di akomodasi kedalam tatanan Hukum positif
kita.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dalam persepsi
masyarakat awam perkawinana adat sebambangan diidentikkan dengan “kawin lari”
padahal bila kita telaah lebih lanjut tidaklah sebagaimana apa yang orang awam
kira. Perkawinan sebambangan adalah adalah adat lampung yang mengatur
pelarian gadis oleh bujang ke rumah kepala adat untuk meminta persetujuan dari
orang tua si gadis, melalui musyawarah adat antara kepala adat dengan kedua
orang tua dari calon mempelai, sehingga diambil kesepakatan dan persetujuan
antara kedua orang tua tersebut. Jauh dari term “kawin lari” sebagaimana yang didentikan orang
banyak. Inilah yang membuat masyarakat awam langsung secara a priori
berpandangan negatif malahan dianggap Perkawinan adat sebambangan melanggar
ketentuan Hukum Pidana Pasal 320 KUHP.
Bila prosesi atau tata cara perkawinan adat
sebambangan dilakukan secara sebagaimana yang saya bahas maka tentulah
perkawinan adat sebambangan tidak bertentangan dengan hukum positif ataupun
hukum agama(islam) secara yuridis bila kita hubungkan dengan ketentuan pasal Pasal
2 ayat (1) UU Perkawinan
(1)
Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agama dan kepercayaannya itu.
Maka tidak ada alasan mengatakan bahwa Perkawinan adat
Sebambangan bertentangan dengan hukum positif malahan justru seharusnya
perkawinan adat sebambangan harus di
lestariakan dan diangkat kedudukannya dalam hukum positif.
DAFTAR
PUSTAKA
http://abdulsyani.blogspot.com/2013/11/adat-sebambangan-perlukah-dilestarikan.html.
diakses pada 9 juni 2014.
diakses pada 9 juni 2014.
http://pakarinfo.blogspot.com/2010/06/istilah-kawin-sebambangan-dalam.html.
diakses pada 9 juni 2014.
http://sophost.blogspot.com/2011/08/makalah-hukum-adat-sebagai-hukum.html.
diakses pada 7 juni 2014.
diakses pada 7 juni 2014.
http://waysemaka.blogspot.com/2014/01/adat-lampung-sebambangan.html.
diakses pada 10 juni 2014.
M. Afnan Chafidh dan A. Ma’ruf Asrori,2006.Tradisi Islami panduan prosesi
kelahiran-perkawinan-kematian,Surabaya : Khalista.
Sudiyat, Imam. 1981 , Asas – Asas Hukum Bekal Pengantar , Liberty, Yogyakarta.
Ragawino,Bewa.2007.Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat.Bandung : Universitas
Padjajaran.
Sugiarto, Umar Said .2013.Pengantar
Hukum Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika.
[2]
Umar Said Sugiarto, Pengantar Hukum
Indonesia, (Jakarta, Sinar Grafika, 2013), hlm
6
[3] Ragawino,Bewa.Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat.Bandung : Universitas
Padjajaran.hlm 2-6.
[4]
Umar Said Sugiarto, op. cit.. hlm 198
[8] M. Afnan Chafidh dan A. Ma’ruf Asrori,
Tradisi Islami panduan prosesi
kelahiran-perkawinan-kematian,
(Surabaya, Khalista, 2006), h. 35
Tidak ada komentar:
Posting Komentar