Selasa, 12 Mei 2015

SISTEM PEMERINTAHAN PRESIDENSIAL DI INDONESIA DAN POLA PERTANGGUNGJAWABAN EKSEKUTIF



 OLEH GUSTYA MARGO WALUYO
PEMBAHASAN

A.    Sistem Presidensial dan Pola Pemberhentian Eksekutif.

Lazimnya kita berangkat dari asumsi awal bahwasanya sistem pemerintahan mempengaruhi Pola, Alasan serta bagaimana mekanisme pemberhentian Eksekutif pada dasarnya Pemberhentian tersebut  janganlah diartikan bahwa diantara hubungan kelembagaan khususnya antara eksekutif dan legislatif saling berhadapan diametral serta saling menjatuhkan satu sama lain. Tapi secara teoritis maupun akademik hal ini justru berfungsi agar terciptanya mekanisme check and balance yakni hubungan saling mengawasi dan seimbang antara legislatif dan eksekutif.
Hubungan antara eksekutif dan legislatif baik dalam hal penyelenggaraan negara maupun dalam hal pembuatan Undang-undang (legislasi) disebut dengan istilah yang cukup familiar yakni ialah sistem pemerintahan. Begitu banyak para ahli politik maupun ahli ketatanegaraan memberikan pengertian mengenai apa yang dimaksud dengan Sistem Pemerintahan?.
Dalam ilmu negara umum (algemeine staatslehre) yang dimaksud dengan sistem pemerintahan ialah sistem hukum ketatanegaraan, baik yang berbentuk monarki maupun republik, yaitu mengenai hubungan antar pemerintah (eksekutif) dan badan yang mewakili rakyat. Menurut Usep Ranawijaya yang dimaksud dengan sistem pemerintahan adalah merupakan hubungan antara eksekutif dan legislatif, Gina Misiroglu mengartikan sistem pemerintahan adalah apabila lembaga-lembaga pemerintah dilihat dari hubungan antara badan eksekutif dan badan legislatif. Dalam ilmu negara umum (algemeine staatslehre) yang dimaksud dengan sistem pemerintahan ialah sistem hukum ketatanegaraan, baik yang berbentuk monarki maupun republik, yaitu mengenai hubungan antar pemerintah (eksekutif) dan badan yang mewakili rakyat.[1]
Sejalan dengan pandangan tersebut, Jimly Asshiddiqie mengemukakan, sistem pemerintahan berkaitan dengan pengertian regeringsdaad, yaitu penyelenggaraan pemerintahan oleh eksekutif dalam hubungannya dengan fungsi legislatif. Cara pandang yang demikian sesuai dengan teori  dichotomy, yaitu legislatif sebagai policy making (taak stelling), sedangkan eksekutif sebagai policy executing (taak verwe-zenlijking)[2].

Meskipun begitu ada pula yang mengartikan pengertian Sistem Pemerintahan dengan pengertian yang luas sebagai suatu struktur yang terdiri dari fungsi-fungsi legislatif, eksekutif dan yudikatif yang saling berhubungan, bekerja sama dan saling mempengaruhi satu sama lain. Ismail Sunny mempunyai pendapat bahwa yang dimaksud dengan Sistem Pemerintahan ialah sebagai suatu sistem tertentu yang menjelaskan bagaimana hubungan antara alat-alat kelengkapan tinggi negara satu sama lain.[3]Bahkan Mahfud MD mengartikan sistem pemerintahan sebagai hubungan tata kerja antar lembaga-lembaga negara.[4] Jadi dalam hal ini pengertian sistem pemerintahan diartikan secara luas tidak sekedar hubungan antara legislatif dan Eksekutif tetapi hubungan seluruh komponen negara/lembaga negara dalam suatu negara satu sama lain untuk menyelenggarakan fungsi-fungsi negara (karena negara pada dasarnya abstrak, negara bergerak melakukan aktifitasnya melalui organ negara).

Namun Penulis dalam hal ini mengartikan Sistem Pemerintahan dalam arti yang sempit yakni hubungan antara Eksekutif dan legislatif dalam hal Pembuatan Undang-Undang dan Penyelenggaraan Negara. Penulis mengambil pengertian demikian karena pengertian tersebutlah yang relevan dalam pembahasan Subbab ini.
Dalam literatur ketatanegaraan dan ilmu politik maupun pada implementasinya di berbagai negara di dunia, terdapat perbedaan varian sistem pemerintahan lazimnya di bagi menjadi tiga sistem varian yakni sistem pemerintahan perlementer, sistem pemerintahan Presidensial dan Sistem Pemerintahan Semi-Presidensiil atau Hybrid. Perbedaan yang demikian tidak hanya sekedar perbedaan pengertian, ciri atau istilah dalam ranah ilmu pengetahuan khususnya Ilmu Ketatanegaan, setiap perbedaan yang ada dalam suatu sub sistem atau spesies antara spesies dalam genus akan menimbulkan suatu akibat yang berbeda. Dalam hal ini bila dikaitkan dengan adanya tiga varian Sistem Pemerintahan kan menimbulkan perbedaan satu sama lain dalam hal Pola hubungan antara eksekutif dan legislatif, Pola Penyelenggaraan Negara, Kedudukan bahkan yang lebih Relevan lagi dengan Pembahasan ini yaitu Pola Pemberhentian Eksekutif.
Penulis dalan hal ini akan membahas keseluruhan Varian tiga sistem pemerintahan tersebut satu per satu melainkan penulis akan menjelaskan sebatas mengenai Sistem Pemerintahan Presidensial karena dalam hal ini erat sekali kaitannya dengan pembahasan pada Bab-bab selanjutnya.
Sistem pemerintahan Presidensial menurut Sri Soemantri adalah :[5]
“suatu sistem pemerintahan dimana pemerintah tidak bertanggung jawab kepada parlemen/badan legislatif. Disamping presiden berkedudukan sebagai kepala negara ia juga merupakan kepala pemerintahan. Disamping itu, presiden tidak dipilih oleh lembaga legislatif, akan tetapi oleh sejumlah pemilih. Oleh karena itu presiden bukanlah bagian dari legislatif seperti dalam sistem pemerintahan parlementer.”
Sistem pemerintahan presidensial dalam sejarah ketatanegaraan berkembang tidak sebaimana sistem pemerintahan perlementer yang setapak demi setapak namun sistem pemerintahan ini berkembang secara revolusioner yakni pada masa awal berdirinya Negara Amerika Serikat di pengaruhi karena perjuangan rakyat amerika serikat dalam melawan Kolonialisme Inggris karena latar belakang inilah Amerika serikat menghendaki bentuk negara yang Republik dengan Presiden sebagai Kepala Negaranya tidak menghendaki Monarki karena kebencian rakyat terhadap pemerintahan Raja George III. Dapat dikatakan pula Sistem pemerintahan Presidensial lahir sejalan dengan terjadinya Revolusi Prancis dan Pemikiran Montesquieu dengan Doktrin Pemisahan Kekuasaannya.
Dalam sistem Presidensial sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Sri Soemantri Presiden tidak hanya diletakkan sebagai kepala negara (head of chief) namun juga sebagai Kepala Pemerintahan (head of chief). Itulah sebabnya dalam sistem presidensial tidak hanya merambah dalam ranah eksekutif saja , tetapi juga merambah ranah legislatif dan ranah yudikatif. Selain itu karena baik badan legislatif maupun presiden memperoleh mandat langsung dari rakyat melalui pemilu menyebabkan kedua badan tersebut berada dalam posisi yang seimbang satu sama lain. Dan oleh karena itu pulalah mayoritas para ahli menempatkan Posisi Presiden dan Badan Legislatif secara vis a vis atau saling berhadap-hadapan satu sama lain.
Dari beberapa karetekristik mengenai sistem presidensial yang ditulis oleh para ahli pendapat, Ball dan Peters termasuk yang paling jelas dalam menghadapkan posisi presiden dengan lembaga legislatif. Karakteristiknya ialah sebagai berikut :[6]
1.      The President is both nominal and political head of state
2.      The President is not elected By The Legislature, But Directly elected from the total electorate
3.      The President is not the part of the legislature, and cannot be from office by the legislature except through the legal Process of Impeachment.
4.      The President cannot dissolve the legislature and call a general election. Usually the president and the legislature are elected for mixed term.


S.L. Witman dan J.J Wuest mengungkapkan Ciri-ciri Sistem Presidensial sebagai berikut :[7]
1.      It is based upon the separation of power Principles
2.      The Executive has no power to dissolve the legislature nor must he resign when he lose the support of the majority of its membership
3.      There no mutual responsibility between the president and his cabinet; the letter is wholly responsible to the chief executive;
4.      The executive is chosen by the electorate.
Selain itu menurut pakar hukum tata negara Indonesia  Mahfud MD, mengemukakan ciri-ciri sistem presidensial sebagai berikut :[8]
1.      Kepala negara menjadi kepala pemerintahan
2.      Pemerintah tidak bertanggung jawab dengan kepada parlemen
3.      Menteri tidak diangkat dan bertanggung jawab kepada presiden
4.      Eksekutif dan legislatif sama-sama kuat.

Jimly Asshidiqie mengemukakan kebih rinci dengan membagi menjadi sembilan ciri sistem presidensial ialah sebagai berikut :[9]
1.      Terdapat pemisahan yang jelas antara eksaekutif dan legislatif
2.      Presiden merupakan eksekutif tunggal. Kekuasaan eksekutif presiden tidak dapat dibagi dan yang ada hanya presiden dan wakil presiden saja;
3.      Kepala pemerintahan adalah sekaligus kepala negara dan sebaliknya;
4.      Presiden mengangkat para menteri sebagai pembantu presiden dan bertanggung jawab kepada presiden.
5.      Anggota parlemen tidak boleh menduduki eksekutif demikian pula sebaliknya;
6.      Presiden tidak dapat membubarkan atau memaksa parlemen
7.      Jika dalam sistem parlementer berlaku prinsip supremasi parlemen dalam sistem presidensial berlaku prinsip supremasi konstitusi oleh karena itu eksekutif pertanggung jawab kepada konstitusi
8.      Eksekutif bertanggung jawab langsung kepada rakyat;
9.      Kekuasaan tidak terpusat seperti dalam sistem parlementer namun tersebar.
Adapun konsep  sistem pemerintahan presidensial  murni bila kita merujuk kepada sistem pemerintahan presidensial di negara Amerika serikat sebagai “the outstanding example of the  presidential form of government” sistem presidensial murni itu memuat dua belas ciri yaitu: [10]
1.      Presiden sebagai Kepala Negara sekaligus Kepala Pemerintahan;
2.       Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat;
3.      Masa Jabatan Presiden yang pasti;
4.      Kabinet atau dewan menteri dibentuk oleh Presiden;
5.      Presiden tidak bertanggung jawab kepada badan legislaif;
6.      Presiden tidak dapat membubarkan badan legislative;
7.      Menteri tidak boleh merangkap anggota badan legislative;
8.      Menteri bertanggung jawab kepada Presiden;
9.      Masa jabatan menteri tergantung pada kepercayaan Presiden;
10.  Peran eksekutif dan legislatif dibuat seimbang   dengan sistem  checks and balances;
11.  Pembuatan undang-undang oleh badan legislatif tanpa melibatkan lembaga eksekutif;
12.  Hak veto Presiden terhadap Undang-undang yang dibuat oleh Badan Legislatif

Berdasarkan ciri-ciri tersebut dapat dikatakan dalam hal hubungan antara Eksekutif dan legislatif pada sistem Presidensial ada sebuah pemisahan yang jelas “there is a clear-cut separation between the executive and legislature” sehingga legislatif maupun eksekutif tidak bertanggung jawab satu sama lain dan tidak dapat membubarkan satu sama lain. Hal yang mana demikian membuat posisi eksekutif dalam pemerintahan dapat lebih terjamin tidak mudah dilengserkan sebagaimana posisi eksekutif dalam sistem parlementer.
Dalam pola hubungan yang terpisah ini setidaknya ada empat keuntungan  dasar dalam sistem pemerintahan presidensial yakni :[11]
1.      Dengan dipilih langsung kekuasaan presiden menjadi lebih legitimate karena memperoleh mandat langsung (direct mandat) dari rakyat ;
2.      Pemisahan antara eksekutif dan legislatif mencegah terjadinya penumpukan kekuasaan karena dengan terpisahnya antara eksekutif dan legislatif keduanya satu sama lain dapat saling mengawasi.
3.      Dengan posisi sentral dalam jajaran eksekutif, presiden dapat mengambil kebijakan strategis yang amat menentukan secara cepat (speed and deciciness)
4.      Dengan masa jabatan yang tetap membuat posisi presiden lebih terjamin dibandingkan dengan sistem parlementer.
Namun meskipun jabatan presiden tetap (fixed Term) bukan berarti presiden tidak dapat diberhentikan dalam masa jabatannya seringkali dalam pemerintahan presidensial sebagai sisi mata uang dari dual-paradoks of presidentialism berayun kepada pendulum otorialisme di karenakan kuatnya kedudukan eksekutif apabila kekuatan-kekuatan dalam parlemen di isi oleh mayoritas partai yang memenangkan Pemilu Eksekutif, kita pula ingat dengan adagium dari lord acton “power tends to corrupt but absolute power corrupt absolutely”oleh karena itu pastilah ada mekanisme pengawasan terhadap kesewenang-wenangan eksekutif bahkan bila perlu presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya.
Jadi adalah sebuah sebuah hal wajar jika Presiden diberhentikan dalam masa jabatannya mengingat bukan tidak mungkin seorang Presiden melakukan pelanggaran-pelanggaran yang serius atau tidak lagi memenuhi syarat untuk tetap berada dalam jabatannya.
Pemberhentian presiden/wakil presiden di tengah masa jabatannya disebut impeachment (pemakzulan) yang secara hukum merupakan a legal process of removing an undesirable person from public office. Tindakan pemberhentian presiden tersebut dapat dikatakan sebagai upaya luar biaya dalam menerobos aturan mengenai Fixed term dalam sistem Presidensial.[12] Pada dasarnya terdapat perbedaan mekanisme pemakzulan/pemberhentian presiden di negara satu dengan yang lain. Namun sebagaimana yang pernah saya kemukakan di awal bahwa setiap perbedaan yang ada dalam suatu sub sistem atau spesies antara spesies dalam genus akan menimbulkan suatu akibat yang berbeda. Dalam hal ini bila dikaitkan dengan adanya tiga varian Sistem Pemerintahan kan menimbulkan perbedaan satu sama lain dalam hal ini yaitu Pemberhentian Eksekutif. Jadi ada persamaan antara negara- negara yang menganut sistem presidensial mengenai Pemberhentian eksekutif dan tentunya ada perbedaan mendasar pemberhentian eksekutif dengan sistem parlementer.
Misalkan dalam konstitusi indonesia Pasal 7A UUD 1945 menetapkan alasan-alasan pemakzulan Presiden dan/atau wakil Presiden dalam masa jabatannya, yaitu: ’...baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau wakil Presiden.’
Article II, section 4 USA  Constitution  mencantumkan alasan alasan  impeachment, ‘….Treason, Bribery, or other high Crimes and misdemeanors.’
Alasan-alasan pemakzulan dimaksud berkonotasi hukum (rechtmatigheid), bukan berpaut dengan kebijakan (doelmatigheid) atau beleid, memiliki konotatif hukum. Suatu ‘beleid’ bukan doelmatigheid manakala merupakan bagian modus operandi dari kejahatan. Perbedaan pendapat dengan Presiden USA tidak merupakan alasan impeach betapapun besarnya perbedaan pendapat itu.[13]
Demikian pula halnya dengan perbuatan tercela. Perbuatan tercela yang dimaksud pasal konstitusi itu harus dipahami pula dalam makna perbuatan tercela menurut hukum, artinya perbuatan tercela tersebut berkaitan dengan aturan-aturan hukum tertulis. Impeach tidak berhasil diajukan terhadap  supreme court justice, William Orville Douglas (1898-1980) di kala musim semi tahun 1970, sehubungan dengan pemuatan bahasan bukunya dalam sebuah majalah porno, juga kelak yang berkaitan dengan kasus tiga kali perceraian perkawinannya.[14]
Jadi bila kita sandingkan dengan model pemberhentian eksekutif dalam sistem parlementer, dalam sistem parlementer pemberhentian eksekutif berkonotasi kebijakan (doelmatigheid)  atau beleid dengan mengajukan mosi tidak percaya (vote of no convidence) artinya perbedaan pendapat antara eksekutif dan legislatif dapat juga menjadi pemicu atau alasan di berhentikannya eksekutif dalam masa jabatannya, hal ini dapat dimaklumi karena dalam sistem pemerintahan parlementer “there is no clear-cut separation between the executive and the legislature”  karena Eksekutif adalah bagian dari Legislatif artinya di pilih oleh legislatif dan bertanggung jawab kepada legislatif. Lain halnya dengan sistem pemerintahan presidensial dimana antara eksekutif dan legislatif terdapat pemisahan yang jelas dan baik legislatif maupun eksekutif sama-sama memperoleh mandat langsug dari rakyat dan keduanya tidak saling mempengaruhi dalam arti eksekutif tidak bertanggung jawab kepada legislatif dan legislatif tidak dapat dibubarkan oleh eksekutif. Mengenai pemakzulan presiden sebagaimana sudah dikemukakan sebelumnya, tindakan ini dapat diartikan sebagai penerobosan terhadap ketentuan fixed term dalam sistem presidensial namun upaya ini pada dasarnya merupakan suatu implementasi dari mekanisme check and balance antara kedua badan sentral tersebut.
B.  Sistem Pemerintahan Indonesia dan Pola Pemberhentian Eksekutif

a.      Gagasan Soepomo mengenai Sistem Pemerintahan
Tanpa bermaksud mengesampingkan Bapak Pendiri Bangsa yang lain, dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia dapat dikatakan bahwa Soepomo menjadi tokoh sentral mengenai gagasan Sistem pemerinthan Indonesia pada masa sebelum kemerdekaan yakni pada masa sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang diselenggarakan 29 Mei-1 Juni dan 10 Juli-17 Juli 1945.
Pandangannya mengenai negara Integralistik sangat mempengaruhi warna sistem pemerintahan Indonesia bahkan sampai sekarang. Dalam rapat 13 Mei 1945, lebih jauh dalan rapat tersebut soepomo menegaskan :[15]
“kepala negara akan terus bergaul dengan badan permusyarawaratan supaya senantiasa mengetahui dan merasakan rasa keadilan rakyat dan cita-cita rakyat. Bagaimana bentuknya badan permusyawaratan itu, ialah satu hal yang harus diseildiki, akan tetapi hendaklah kita jangan memakai sistem Individualisme”
Pandangan soepomo meskipun menolak atau tidak menghendaki sistem individualisme pada dasarnya pemikiran soepomo mengenai badan Permusyawaratan terinspirasi dengan sistem pemerintahan belanda yang menggunakan model pemerinthan yang sama dengan inggris.
Sistem pemerintahan inggris yang merupakan prototipe dari sistem parlementer yang di adopsi oleh soepomo memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap pemerintahan yang memakai sistem presidensial. Pengaruhnya dari sistem parlementer terhadap sistem pemerintahan di indonesia  adalah :[16]
1.      Supremasi parlemen dengan modifikasi tertentu seperti nampak pada DPR dan MPR.
2.      Adanya kerjasama yang erat antara eksekutif dan parlemen dalam pembuatan Undang-undang. Hubungan ini membuktikan bahwa Indonesia tidak menjalankan sistem pemisahan kekuasaan dalam proses pembuatan Undang-undang.
3.      Kedudukan kepala negara yang tidak dapat dipersalahkan, yang merupakan suatu tradisi dalam pemerintahan kerajaan inggris yang berpengaruh terhadap pemerintahan demokrasi bersistem presidensial.
4.      Peran menteri yang sangat besar yang dapat menetapkan berbagai macam kebijaksanaan
Kembali kepada pembahasan mengenai gagasan dari soepomo lebih lanjut lagi mengenai rancangan bentuk pemerintahan dalam rancangan undang-undang dasar pada 15 juli 1945, soepomo menegaskan :[17]
“sistem pemerintahan yang di tegaskan dalam rancangan undang-undang dasar adalah sistem pemerintahan yang memberikan predominance kekuasaan negara bagi pemerintah, terutama kepada kepala negara. Concentration of power and responsibility ditangan presiden”
Menutup penjelasan sistem pemerintahan soepomo menegaskan, rancangan undang-undang dasar yang sedang disusun memakai sistem sendiri. yang dimaksud dengan sitem sendiri itu, kepala negara tidak tunduk kepada Dewan Perwakilan Rakyat, Tetapi sepenuhnya bertanggung jawab kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat. Soepomo menambahkan,dengan sistem sendiri itu, menteri-menteri hanya tunduk kepada kepala negara.[18]
Meskipun begitu gagasan membentuk sistem sendiri di BPUPKI tidak mempengaruhi para pengkaji hukum tata negara untuk menyatakan bahwa para pembentuk UUD 1945 menghasilkan Sistem pemerintahan  presidensial.
Disamping keinginan membentuk “sitem pemerintahan sendiri” penjelasan UUD 1945 yang dibuat oleh Soepomo memberikan kontribusi yang besar mengenai perdebatan sistem Pemerintahan Indonesia dalam UUD 1945 terutama yang terkait dengan Sistem Pemerintahan negara yang ,meliputi :
Sistem pemerintahan negara yang ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar ialah:[19]
1.      Indonesia ialah negara yang berdasar atas hukum (rechtsstaat).
Negara Indonesia berdasar atas hukum, (rechtsstaat), tidak berdasarkan kekuasaan belaka (Machtsstaat).
2.      Sistem Konstitusional.
Pemerintahan berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar) tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas).
3.      Kekuasaan Negara yang tertinggi di tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Die gezatnte Staatgewalt liegi allein bei der Majelis). 
Kedaulatan Rakyat dipegang oleh suatu badan, bernama Majelis Permusyawaratan Rakyat, sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia (Vertretungsorgan des Willens des Staatsvolkes). Majelis ini menetapkan Undang-Undang Dasar dan menetapkan garis-garis besar haluan negara. Majelis ini mengangkat Kepala Negara (Presiden) dan Wakil Kepala Negara (Wakil Presiden). Majelis inilah yang memegang kekuasaan negara yang tertinggi, sedang Presiden harus menjalankan haluan negara menurut garis-garis besar yang telah ditetapkan oleh Majelis. Presiden yang diangkat oleh Majelis, bertunduk dan bertanggung jawab kepada Majelis. Ia ialah "mandataris" dari Majelis. Ia berwajib menjalankan putusan-putusan Majelis. Presiden tidak "neben", akan tetapi "untergeordnet" kepada Majelis.
4.      Presiden ialah penyelenggara pemerintah Negara yang tertinggi di bawah Majelis.
Di bawah Majelis Permusyawaratan Rakyat, Presiden ialah penyelenggara pemerintah negara yang tertinggi. Dalam menjalankan pemerintahan negara, kekuasaan dan tanggung jawab adalah di tangan Presiden (concentration of power and responssibility upon the President).
5.      Presiden tidak bertanggungjawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
Di sampingnya Presiden adalah Dewan Perwakilan Rakyat. Presiden harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat untuk membentuk undang-undang (Gesetzgebung) dan untuk menetapkan anggaran pendapatan dan belanja negara (Staatsbegrooting). Oleh karena itu, Presiden harus bekerja bersama-sama dengan Dewan, akan tetapi Presiden tidak bertanggung jawab kepada Dewan, artinya kedudukan Presiden tidak tergantung dari pada Dewan.
6.      Menteri Negara ialah pembantu Presiden; Menteri Negara tidak Bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
Presiden mengangkat dan memperhentikan menteri-menteri negara. Menteri-menteri itu tidak bertanggungjawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Kedudukannya tidak tergantung dari pada Dewan, akan tetapi tergantung dari pada Presiden. Mereka ialah pembantu Presiden.
7.       Kekuasaan Kepala Negara tidak tak terbatas.
Meskipun Kepala Negara tidak bertanggungjawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat, ia bukan "diktator", artinya kekuasaan tidak tak terbatas. Diatas telah ditegaskan bahwa ia bertanggung jawab kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat. Kecuali itu ia harus memperhatikan sungguh-sungguh suara Dewan Perwakilan Rakyat. Kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat adalah kuat. Kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat adalah kuat. Dewan ini tidak bisa dibubarkan oleh Presiden (berlainan dengan sistem parlementer). Kecuali itu anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat semuanya merangkap menjadi anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat. Oleh karena itu, Dewan Perwakilan Rakyat dapat senantiasa mengawasi tindakan-tindakan Presiden dan jika Dewan menganggap bahwa Presiden sungguh melanggar haluan negara yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang Dasar atau oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, maka Majelis itu dapat diundang untukersidangan istimewa agar supaya bisa minta pertanggungan jawab kepada Presiden. Menteri-menteri negara bukan pengawal tinggi biasa. Meskipun kedudukan menteri negara tergantung dari pada Presiden, akan tetapi mereka bukan pegawai tinggi biasa oleh karena menteri-menterilah yang, terutama menjalankan kekuasaan pemerintah (pouvoir executif) dalam praktek. Sebagai pemimpin departemen, menteri mengetahui seluk-beluk hal-hal yang mengenai lingkungan pekerjaannya. Berhubung dengan menteri mempunyai pengaruh besar terhadap Presiden dalam menentukan politik negara yang mengenai departemennya. Memang, yang dimaksudkan ialah, para menteri itu pemimpin-pemimpin negara. Untuk menetapkan politik pemerintah dan koordinasi dalam pemerintahan negara, para menteri bekerja bersama satu sama lain seerat-eratnya dibawah pimpinan Presiden.

Namun sebenarnya “sistem sendiri” yang digagas oleh Soepomo lebih mendekati sistem pemerintahan presidensial, misalnya dengan menggunakan karakter yang terdapat dalam sistem pemerintahan Presidensial, yaitu
1.      Pemilihan presiden (elected president),
2.      Masa jabatan yang tetap (fixed term)
3.      Presiden kepala negara sekaligus kepala pemerintahan.
Agaknya meskipun terjadi perdebatan mengenai sistem pemerintahan Indonesia ada yang berpendapat merupakan sistem presidensial murni seperti A. Hamid. Attamimi, bahkan Bagir Manan berpendapat bahwa unsur parlementer tidak ada sama sekali dengan berasumsi bahwa pertanggungjawaban Presiden kepada MPR hanyalah upaya konstitusional dalam mewujudkan mekanisme check dan balance. sedangkan yang berpendapat sebagai sistem campuran Sri Soemantri dimana ada unsur parlementer dalam sistem yang secara eksplisit dalam penjelasan UUD 1945 menyatakan bahwa Sistem Pemerintahan yang dianut adalah presidensial.
Suwoto Mulyosudarmo mengganggap justru tidak perlu disebut sebagai perpaduan antara sistem presidensial dan sistem parlementer menurutnya dalam sistem legislasinya dalam hal mengenai pembuatan Undang-Undang,Indonesia menganut Prinsip Sistem Pemerintahan yang Terpadu, sedangkan dalam hal penyelenggaraan kekuasaan eksekutif, Indonesia menganut prinsip Presidensial.[20]
Namun penulis tampaknya lebih setuju denga pendapat dari Aulia. A. Rahman yang justru menyebut gagasan UUD 1945 tentang sistem sendiri yang di prakarsai oleh soepomo sebenarnya adalah sistem pemerintahan presiden namun dalam pola yang lebih longgar. Karakter yang lebih longgar tersebut meliputi :[21]
1.      Pemisahan antara kepala negara dengan kepala pemerintah, selain kepala pemerintah presiden juga merupakan kepala negara;
2.      Presiden tidak dapat membubarkan lembaga legislatif
3.      Presiden memilih menteri-menteri dan menteri-menteri bertanggungjawab kepada presiden.
Sedangkan alasan mengapa founding father khususnya Soepomo memilih sistem pemerintahan presidensial, setidaknya menurut Aulia. A Rahman ada empat alasan yang melatar belakanginya:[22]
1.      Indonesia memerlukan kepemimpinan yang kuat,stabil dan efektif untuk menjamin keberlangsungan eksistensi negara indonesia yang baru berdiri;
2.      Karena alasan teoritis yaitu alasan yang terkait dengan cita negara (staatside) terutama cita negara Integralistik pada saat pembahasan UUD 1945 dalam sidang BPUPKI
3.      Pada awal kemerdekaan Presiden di beri kekuasaan penuh untuk melaksanakan kewenangan-kewenangan DPR,MPR dan DPA, sehingga sistem yang cocok dengan hal tersebut adalah sistem Presidensial.
4.      Merupakan simbol perlawanan atas segala bentuk penjajahan karena sistem parlementer dianggap sebagai sistem produk penjajah.

b. Sistem Pemerintahan Indonesia berdasar UUD 1945 
a.  masa 18 Agustus 1945–27 desember 1949[23]
Masa awal kemerdekaan, negara Indonesia belum mempunyai infra politik secara lengkap, lembaga-lembaga negara yang mestinya ada sesuai ketentuan UUD 1945, walaupun di dalam UUD 1945 menyebutkan adanya lembaga negara seperti : MPR, DPR. Presiden, MA, BPK, dan DPA namun karena saat itu belum semua lembaga terbentuk, atau baru Presiden dan Wakil Presiden yang ada, maka berdasar Aturan Peralihan Pasal IV UUD 1945 kekuasaan lembaga lembaga negara dijalankan oleh Presiden,”Sebelum Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Pertimbangan Agung dibentuk berdasar Undang-Undang Dasar ini, segala kekuasaannya dijalankan oleh Presiden dengan bantuan sebuah Komite Nasional ”.                                                                                                                               
b.       masa 5 Juli 1959-11 maret 1966[24]
Berdasar pada Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dinyatakan berlakunya kembali UUD 1945. Sejak saat itu UUD 1945 berlaku lagi sebagai hukum dasar, dari sisi hukum bukan pada persoalan isi dekrit presidennya yang menarik untuk dibahas, justru dekrit presidennya yang menarik. Dekrit Presiden 5 Juli 1959 merupakan produk hukum yang revolusioner, produk hukum yang tanpa dasar hukum.Secara teori sulit untuk menjelaskan posisi Dekrit Presiden 5 Juli 1959, jika dari sisi positivistik, maka jelas hukum ini justru bertentangan dengan UUD Sementara 1950 waktu itu, yang mengamanatkan Presiden taat pada UUD Sementara tahun  1950.
Dari prespektif  hukum progresif pun Dekrit Presiden 5 Juli 1959 tidak mempunyai ciri untuk kepentingan manusia Indonesia seutuhnya, Dekrit Presiden merupakan hukum yang menyisihkan UUD 1945 itu sendiri yang mengalami makna kemunduruan hukum, hukum yang hanya untuk kepentingan beberapa orang. Sebab setelah itu, keinginan bangsa Indonesia menjadikan negara Indonesia sebagai negara yang diperintah secara demokrasi justru berbalik arah ke otoriter.
c.       masa 11 maret 1966 sampai dengan 1998[25]
Demikian halnya pemerintahan Orde Baru sepanjang kekuasaannya, UUD 1945 menjadi  sesuatu yang disakralkan.  Di era Orde Baru ini, konsentrasi penyelenggaraan sistem pemerintah dan kehidupan demokrasi dititikberatkan pada aspek stabilitas politik dalam rangka menunjang pembangunan nasional. Kekuasaan Presiden dalam UUD 1945 sangat kuat, namun dilihat dari sistem ketatanegaraan berdasarkan UUD 1945,  justru ciri-ciri sistem parlementer terlihat di dalamnya:
1.      Pertama Presiden dipilih oleh MPR dengan suara terbanyak.
2.      Presiden yang terpilih itu diangkat oleh MPR dan sewaktu-waktu MPR dapat meminta pertanggungjawaban Presiden.
3.      Setiap Undang-Undang yang dibentuk harus mendapat persetujuan DPR.

d.      Sistem Pemerintahan Presidensiil masa Transisi dari UUD 1945 ke UUD negara RI tahun 1945[26]
Setelah Orde Baru dilengserkan, maka sistem ketatanegaraan Indonesia memasuki era transisi, pada masa ini proses perubahan UUD 1945 dilakukan untuk mendorong terselenggaranya sistem ketatanegaraan yang demokratis.
Pemilihan Presiden pada masa ini dirasa lebih demokratis dibanding sebelumnya, sebab anggota anggota MPR menggunakan hak suaranya untuk menentukan Presiden pilihannya. Pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid, ada upaya pembagian kekuasaan antara Presiden dan Wakil Presiden melalui Keputusan Presiden No.121 Tahun 2000. Secara politik dapat dikatakan bahwa Presiden melakukan pengalihan kekuasaan itu berdasarkan kekuasaannya sendiri dan bukan dipaksa secara sepihak oleh MPR. Tindakan tersebut juga dapat dibenarkan secara konstitusional, sebab yang dilakukan Presiden Abdurrahman Wahid bukan memisahkan atau melepaskan kekuasaan pemerintahan negara dari tangan Presiden melainkan menugaskan kepada  Wakil Presiden  dengan masih tetap di bawah tanggung jawab Presiden.
c. Pemberhentian Presiden sebelum dan Setelah Amandemen UUD 1945
a.      pemberhentian Presiden sebelum Perubahan UUD 1945
Dalam UUD 1945 sebelum perubahan kedudukan Presiden dipilih oleh MPRdan ddiposisikan sebagai mandataris MPR. Hal tersebut dinyatakan secara jelas dalam penjelasan UUD 1945 tentang Sistem pemerintahan Negara yang menyatakan bahwa kekuasaan negara tertinggi di tangan MPR, dan Presiden merupakan mandatarisnya yang dipilih, diangkat, dan diberhentikan oleh MPR.  Oleh karena itu maka Presiden harus tunduk dan bertanggung jawab kepada MPR, serta wajib menjalankan putusan-putusan MPR termasuk harus menjalankan haluan negara menurut garis-garis besar yang telah ditetapkan MPR.
Sejalan dengan penjelasan UUD 1945 tentang Sistem pemerintahan Negara yang menyatakan bahwa kekuasaan negara tertinggi di tangan MPR, dan Presiden merupakan mandatarisnya yang dipilih, diangkat, dan diberhentikan oleh MPR, Dalam Undang-undang Dasar 1945 sebelum Perubahan pun mengatur mengenai Pemberhentian Presiden dalam masa jabatannya sebagai bentuk pertanggung jawabannya sebagai mandataris MPR, baik alasan maupun mekanismenya. namun tidak secara tegas mengaturnya yakni pasal 8 UUD 1945 yang berbunyi :
“ jika presiden mangkat, berhenti atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia di ganti oleh wakil presiden sampai habis masa jabatannya"
Dalam bagian Penjelasan UUD 1945 yaitu pada angka VII alinea ketiga dijelaskan bahwa :
"jika dewan mengganggap bahwa presiden sungguh melanggar haluan negara yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang Dasar atau oleh MPR maka majelis itu dapat diundang untuk sidang istimewa agar supaya bisa meminta pertanggung jawab presiden"
Secara lebih lanjut mekanisme mengenai pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya diatur dalam Ketetapan MPR RI No. VI/MPR/1973 kemudian diubah dengan Ketetapan MPR No. III/MPR/1978 tentang Kedudukan dan Hubungan Tata  Kerja Lembaga Tertinggi Negara dengan/Antar Lembaga Tinggi Negara dan Ketetapan MPR mengenai Peraturan Tata Tertib MPR. Presiden dan/atau Wakil Presiden  dapat diberhentikan pada masa jabatannya karena alasan “Presiden dan/atau Wakil Presiden sungguh-sungguh melanggar haluan negara yang telah ditetapkan oleh Undang-undang atau oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”.[27]
Persoalannya tidak ada satu pun ketentuan dalam Peraturan Perundang-undangan menjelaskan mengenai apa yang dimaksud dengan pelanggaran terhadap Haluan Negara, walaupun demikian secara implisit ketentuan mengenai sumpah jabatan presiden yang diatur dalam pasal 9 Undang-undang 1945 yang berbunyi :
Sebelum memangku jabatannya, Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut agama, atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan Majelis Permusyawaratan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat sebagai berikut:
Sumpah Presiden (Wakil Presiden):
"Demi Allah, saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia (Wakil Presiden Republik Indonesia) dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang eguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa.”
Janji Presiden (Wakil Presiden):
"Saya berjanji dengan sungguh-sungguh akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia (Wakil Presiden Republik Indonesia) dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa."
Dapat saja hal pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan termasuk ketentuan hukum pidana dapat dijadikan alasan pemberthentian presiden. Cukup menarik bila kita menafsirkan pengertian melanggar haluan negara, bila itu ditafsirkan sebagai pelanggaran terhadap UUD 1945 dan melanggar Ketetapan Majelis permusyawaratan maka tafsiran melanggar haluan negara akan menjadi meluas karen dalam UUD 1945 Terdapat ketentuan Pasal 9 UUD 1945 sebagaimana yang telah diuraikan diatas menyebabkan tidak ada ketentuan yang limitatif mengenai klasifikasi seorang eksekutif melanggar haluan negara.
Hal tersebut menyebabkan munculnya penafsiran subjektif dan politis karena bergantung pada persepsi anggota DPR dan MPR, padahal sebagaimana yang kita ketahui lembaga parlemen merupakan lembaga politik dimana didalamnya terdapat berbagai kepentingan politis yang saling berhadapan satu sama lain, apalagi bila kita menyitir pendapat Jimly asshidiqie bahwasanya ada kecenderungan menguatnya kedudukan parlemen dalam masa-masa akhir rezim[28], dapat dikatakan lebih lanjut dalam masa-masa akhir rezim terjadi Pergeseran Parlemen yang awalnya linear dengan presiden atau sejalan dengan presiden dalam arti menjadi pendukung presiden  berpeda masa akhir rezim justru parlemen bergerak menjadi pengawas presiden dan kedudukannya sangat kuat sehingga dapat memberhentikan presiden, bila kita menilik hal tersebut berarti dalam penentuan apakah seorang presiden/wakil presiden melanggar haluan negara sangat di pengaruhi dengan keadaan politik dalam parlemen misalkan contohnya dalam pemberhentian Presiden Soekarno, sebenarnya beliau sudah jauh hari banyak melanggar konstitusi namun pemberhentiannya hanya dapat dilakukan pada masa-masa akhir rezim dimana dalam masa tesebut presiden soekarno kehilangan dukungan politik dari parlemen.
Kembali ke penbahasan jadi pengertian melanggar haluan negara dapat di tafsirkan sebagai pelanggaran terhadap haluan atau garis-garis yang ditetapkan MPR. Kemudian seluruh pasal dan penjelasan dalam UUD 1945 yang terkait dengan tugas, kewajiban, dan tanggung jawab presiden; Pancasila; Ketetapan MPR; undang-undang; dan seluruh peraturan perundang-undangan lainnya dapat diartikan sebagai haluan negara.[29]
Ketentuan mengenai Mekanisme pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa jabatannya  sebagaimana yang diatur dalam UUD 1945 sebelum perubahan diatur lebih rinci Ketetapan MPR No III tahun 1978[30]
Dimulai dengan adanya dugaan DPR bahwa terdapat pelanggaran haluan negara yang dilakukan oleh presiden. Selanjutnya DPR berdasarkan kewenangan yang ada padanya dapat menyampaikan memorandum kepada presiden sebagai peringatan bahwa telah terjadi pelanggaran haluan negara yang dilakukannya. Apabila dalam jangka waktu 3 bulan setelah disampaikan memorandum presiden tidak juga mengindahkannya, maka DPR akan kembali menyampaikan memorandum kedua. Apabila presiden tidak juga mengindahkan memorandum kedua DPR 1 bulan setelah disampaikan, maka DPR meminta kepada MPR untuk mengadakan Sidang Istimewa untuk meminta pertanggungjawaban presiden.[31] Meskipun dalam ketentuan tersebut tidak disebutkan bila pertanggungjawaban ditolak maka presiden di berhentikan, namun tampaknya pertanggung jawaban tersebut dapat dikatakan sebagai pintu gerbang MPR untuk melakukan kewenangannya dalam memberhentikan presiden.
b.      Pemberhentian Presiden Sesudah Perubahan UUD 1945
UUD 1945 Setelah perubahan diatur secara rinci mengenai alasan dan mekanisme pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya yaitu dalam ketentuan Pasal 7A dan 7B UUD 1945.  Dalam hal mengenai Alasan pemberhentian presiden sudah ditentukan secara limitatif merujuk pada ketentuan Pasal 7A UUD 1945 yakni dalam hal melanggar hukum melakukan  :
a.       Pengkhianatan terhadap Negara;
b.       Korupsi;
c.        Penyuapan;
d.      Tindak pidana berat lainnya ;
e.       Perbuatan tercela.
Sedangkan alasan lainnya ialah bilamana presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden.
Ketentuan Lebih rinci diatur Dalam Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusidijelaskan lebih lanjut mengenai maksud tindakan pelanggaran hukum oleh Presiden dan /atau Wakil Presiden tersebut, yaitu berupa:
a.       pengkhianatan terhadap negara adalah tindak pidana terhadap keamanan negara sebagaimana diatur dalam undang-undang.
b.      korupsi dan penyuapan adalah tindak pidana korupsi atau penyuapan sebagaimana diatur dalam undang-undang.
c.       tindak pidana berat lainnya adalah tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
d.       perbuatan tercela adalah perbuatan yang dapat merendahkan martabat Presiden dan/atau Wakil Presiden.
e.        tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah syarat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 6 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Alasan pemberhentian presiden setelah perubahan UUD 1945 dan lebi lanjut lagi  secara sistematis dengan peraturan-perundangan nampakanya alasan pemberhentian presiden selain diatur secara rinci dan limitatif juga tampaknya berkonotasi hukum (rechtmatige) sehingga bila dibandingkan dengan UUD 1945 sebelum perubahan dapat dikatakan ini merupakan kemajuan negara indonesia dalam upaya menegakkan supremasi bahwa Indonesia merupakan negara hukum.
Sedangkan mengenai mekanisme pemberhentian presiden diatur dalam pasal 7B UUD 1945. Berdasarkan ketentuan UUD ini, lembaga negara yang diberi kewenangan untuk memberhentikan Presiden dalam masa jabatan adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Namun sebelum di putus oleh MPR, proses pemberhentian dimulai dari Proses pengawasan terhadap Presiden oleh DPR. Apabila dari pengawasan ditemukan adanya pelanggaran hukum oleh Presiden yang berupa: pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan dan tindak pidana berat lainnya serta perbuatan tercela atau presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden, maka DPR dengan dukungan 2/3 jumlah suara dapat mengajukan usulan pemberhentian Presiden kepada MPR, dengan terlebih dahulu meminta putusan dari Mahkamah Konstitusi tentang kesimpulan dan pendapat DPR. Dalam hal ini Mahkamah konstitusi memutuskan bahwa pendapat DPR tidak berdasarkan hukum, maka proses pemberhentian menjadi gugur dan sebaliknya jika mahkamah konstitusi membenarkan pendapat DPR, maka DPR tinggal meneruskannya kepada MPR untuk dijatuhi putusan memberhentian atau tidak memberhentikan Presiden.[32]
Dengan demikian pemberhentian presiden menurut UUD 1945 melewati tiga lembaga negara yaitu DPR,MK dan MPR. Ketiga lembaga negara ini memiliki kewenangan berbeda. DPR melakukan penyidikan dan mencari alat bukti-bukti dan fakta yang mengukuhkan dugaan adanya pelanggaran pasal pemberhentian serta mengajukan usul pemberhentian kepada MPR. Mahkamah konstitusi yang mengkaji dari segi hukum dan landasan yuridis alasan Pemberhentian presiden dan MPR yang akan menjatuhkan vonis politik apakah Presiden di berhentikan atau tetap memangku Jabatannya.[33]
Jadi dalam pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden terdapat keterlibatan 4 (empat) lembaga negara yaitu Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagai obyeknya, sedangkan MPR, DPR, dan MK merupakan lembaga yang berperan aktif dalam mekanisme  pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Lebih lanjut lagi Mahfud Md menyatakan bahwa berkenaan mengenai mekanisme pemberhentian presiden/wakil presiden terdapat dua pendapat, pertama pendapat  yang dikemukakan oleh hajrianto Y. Thohari, wakil ketua MPR. Menurutnya Impeachment harus dimulai dengan hak menyatakan pendapat bahwa DPR terkait tuduhan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh presiden dan wakil presiden. Hak menyatakan pendapat ini harus dilakukan dalam sidang paripurna di hadiri minimal ¾ anggota yang hadir dan disetujui ¾ anggota yang hadir. Bila setuju selanjutnya dibentuk pansus, rekomendasi pansus hak menyatakan pendapat dibahas kembali di paripurna yang dihadiri oleh 2/3 anggota DPR dan disetujui oleh 2/3 Anggota yang hadir. Bila disetujui  (tercapainya Kuorum ) maka DPR akan meneruskannya ke MK. Kedua ialah pendapat dari pakar hukum pidana UGM, Eddy O.S.H. bahwa harus ada vonis pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan bahwa presiden/wakil presiden bersalah, untuk dapat dilakukan pengajuan usul pemakzulan oleh DPR Ke MK.[34]
Nampaknya pendapat kedua penulis rasa kurang tepat karena bilamana harus didahulu dengan mekanisme peradilan pidana hal ini di pandang akan menghadapi permasalahan mengenai legitimasi dan akan mencoreng kehormatan Jabatan Presiden dan hal ini dapat membahayakan kelangsungan pemerintahan dan hal ini dapat membahayakan kelangsungan pemerintahan dan kelangsungan negara. Lagipula hal ini juga akan mempengaruhi proses  peradilan pidana harapannya dengan dilakukannya proses peradilan pidana setelah proses pemberhentian presiden, peradilan pidana dapat dilakukan secara fair dan adil. Sehingga lebih tepat bila pemberhentian presiden dalam konteks peradilan ketatanegaraan terlebih dahulu bari kemudian peradilan pidana guna pertanggung jawaban  presiden karena melakukan tindak pidana.
Dari penjabaran tersebut tampaknya selamanya mekanisme Pemberhentian Presiden dalam konteks ketatanegaraan selamanya unsur-unsur politis berperan Misalkan jika Mahkamah Konstitusi sudah memutuskan Presiden dan atau Wakil Presiden terbukti bersalah, mengapa MPR masih diberi peluang untuk tidak menjatuhkan presiden hal yang demikian meskipun alasan pemberhentian presiden berkonotasi hukum (Rechtmatige) namun dalam mekanismenya baik dalam hal pengajuan usul oleh DPR maupun dalam hal penentuan diberhentikan atau tidak di berhentikannya presiden tetap ada di tangan lembaga politik yakni dalam hal ini Majelis Permusyawaratan rakyat yang berperan dalam melakukan Vonis Politik. bila kita bandingkan Pemberhentian Presiden Sebelum Perubahan UUD 1945 dengan sesudah perubahan UUD 1945, unsur-unsur politis selamanya akan ada yang terjadi hanyalah upaya menyeimbangankan antara unsur hukum dan politik supaya jangan sampai pemberhentian presiden dilakukan karena kepentingan politik sebagai upaya menjatuhkan lawab politik dan sebagai upaya mendapatkan kekuasaan hal yang demikian akan bertentangan dengan filosofi negara kita yang menjunjung hukum (rechtstaat).









C.    Impeachment Presiden Alasan Tindak Pidana Pemberhentian Presiden menurut UUD 1945.
1.      Pengertian Impeachment
Dalam  law dictionary, yang dimaksud dengan  impeachment adalah  an administrative procedure, defined in the US constitution, under which the Presiden or another government official is brought up on charges and tried by the congress and if convicted, is removed from the office. Pengertian ini tidak jauh berbeda dengan apa yang dicantumkan dalam BLACK’S LAW DICTIONARY, dimana  Impeachment didefinisikan sebagai  the act (by a legislature) of calling for the removal from office of a public official, accomplished by presenting a written charge of the official’salleged misconduct.[35] ataupun undang-undang Federal lainnya.
Selain itu, menurut  Jimly Asshiddiqie dalam beberapa literatur lain istilah  impeachment berasal dari kata “to  impeach”, yang berarti meminta pertanggungjawaban. Jika tuntutannya terbukti, maka hukumannya adalah “removal from office”, atau pemberhentian dari jabatan. Dengan kata lain, kata “impeachment” itu sendiri bukanlah pemberhentian, tetapi baru bersifat penuntutan atas dasar pelanggaran hukum yang dilakukan. Oleh karena itu, dikatakan Charles L. Black, “Strictly speaking, ‘impeachment’ means ‘accusating’ or ‘charge’.” Artinya, kata  impeachment itu dalam bahasa Indonesia dapat kita alih bahasakan sebagai pendakwaan atau Tuduhan[36]
Ke depan, menurut Laica Marzuki tepat kiranya manakala kata diberhentikan, pemberhentian dalam UUD 1945 diubah menjadi kata dimakzulkan, pemakzulan bagi Presiden dan Wakil Presiden. Kata makzul, dimakzulkan dan pemakzulan khusus digunakan bagi Presiden dan Wakil Presiden, bukan terhadap pejabat-pejabat publik lainnya. Prosedur daripadanya berkaitan belaka dengan prosedur konstitusi, berbeda dengan pemberhentian pejabat publik pada umumnya. Di Amerika,  impeachment tidak hanya diberlakukan bagi  the President, Vice President tetapi berdasarkan  Article 2, section 4 US Constitution, juga mencakupi  to accuse of wrongdoing to all civil officers of the United States. Tidak tepat kiranya menggunakan nomenclatuur  impeachment bagi pemakzulan Presiden, dan Wakil Presiden, menurut UUD 1945.[37]
1.      Pengertian tindak Pidana
Istilah "Tindak Pidana" merupakan terjemahan dari bahasa belanda yakni "Strafbaar feit" diantara para sarjana di indonesia terdapat penggunaan istilah yang berbeda-beda untuk terjemahan "strafbaar feit" antara lain "Perbuatan Pidana", "peristiwa Pidana", "Tindak Pidana" serta istilah "delik" namun umumya dalam buku ini penulis menggunakan istilah "tindak pidana". Pengertian Tindak Pidana dapat disimpulkan bahwa Tindak pidana ialah suatu perbuatan manusia yang dilarang dan di ancam dengan hukuman oleh undang-undang dan perbuatan itu harus dilakukan oleh orang yang bertanggung jawab. Unsur-Unsur dari tindak pidana ialah Perbuatan yang melawan hukum, kesalahan serta Pemidanaan[38]
Sedangkan Moelyatno dalam buku “asas-asas hukum pidana” mengartikan tindak pidana sebagai Perbuatan yang diancam sanksi berupa pidana, barang siapa melanggar larangan tersebut. [39] sebenarnya  ada dua pandangan besar yang meletakkan perbedaan mengenai unsur-unsur Tindak Pidana yakni pandangan monisme dan dualisme.
Dalam pandangan monisme pandangan mengenai criminal act dan criminal responsibilities tidak dipisahkan berikut ini Unsur-unsur Strafbaar feit menurut Pandangan Monisme :
  1. Perbuatan manusia (positif/negatif);
  2. Diancam dengan pidana;
  3. Melawan hukum;
  4. Dilakukan dengan kesalahan;
  5. Dilakukan Oleh orang yg mampu ber Tanggung Jawab.
Sedangkan dualisme menganut prinsip pembedaan mengenai criminal act yang melekat pada perbuatan dan criminal responsibilities yang mencangkup dapat atau tidaknya seseorang dipertanggung jawabkan. Dalam prinsip dualisme hal tersebut dibedakan secara jelas pemisahannya:
         Criminal Act
a.       Perbuatan manusia;
b.      Memenuhi rumusan  UU;
c.       Bersiat melawan HK.
Criminal Responsibility
a.       Mampu ber Tanggung Jawab;
b.      Dolus atau Culpa
                         

c.       Alasan Tindak Pidana dalam Pemberhentian Presiden
Alasan pemberhentian yang secara tegas dituangkan dalam pasal 7A UUD 1945 berdasarkan ketentuan UU tersebut ada 2 alasan presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya yaitu:
1.      Melakukan pelanggaran hukum berupa: penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, dan tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela.
2.      Terbukti tidak memenuhi syarat sebagai presiden.
Pembahasan ini tidak menguraikan alasan yang kedua, karena tidak terkait dengan pelanggaran hukum pidana, mengenai alasan pemberhentian presiden berdasarkan pelanggaran hukum pidana, UUD 1945 memang tidak merinci apa yang dimaksud dengan jenis-jenis pelanggaran hukum yang tercantum dalam pasal 7A tersebut. Namun jika kita merujuk pada pasal 10 ayat (3) UU No 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dimana UU tersebut memberikan penjelasan tentang jenis-jenis tindak pidana tersebut yaitu:
a.       Pengkhianatan terhadap negara adalah tindak pidana terhadap keamanan negara sebagaimana diatur dalam UU.
b.      Korupsi dan penyuapan adalah tindak pidana korupsi atau penyuapan sebagaimana diatur dalam UU.
c.       Tindak pidana berat lainnya, adalah tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih
d.      Perbuatan tercela adalah perbuatan yang dapat merendahkan martabat presiden dan/atau wakil presiden.

1.      Pengkhianatan terhadap negara[40]
Pengkhianatan terhadap negara dalam Undang-undang Mahkamah kontitusi diartikan sebagai tindak pidana terhadap keamanan negara sebagaimana diatur dalam undang-undang. Hamdan Zoelva berdasarkan penelitiannya menjelaskan bahwa pengkhianatan terhadap negara merupakan perbuatan pidana yang dapat mengancam keamanan negara sebagaimana diatur dalam Titel I Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Pengkhianatan dalam pandangan Wirjono Prodjodikoro,  ada 2 macam pengkhianatan yaitu pengkhianatan intern (hoogveraad)dan pengkhianatan ekstern (landverraad).
·         Pengkhianatan intern  dilakukan dengan tujuan  untuk mengubah struktur kenegaraan atau struktur pemerintahan yang sedang diterapkan dalam suatu negara, contohnya  tindak pidana  terhadap kepala negara. Jadi pengkhianatan intern ini berkaitan dengan keamanan dalam negara  (inwendige veiligheid). 
·         pengkhianatan ekstern  (landverraad)merupakan pengkhianatan yang dilakukan dengan maksud membahayakan keamanan negara dan hal tersebut berasal dari serangan luar negeri.
Dalam titel I Buku II KUHPidana terkumpul setidaknya dua macam pengkhianatan ini, seolah-olah tidak diadakan pembedaan antara dua macam tindak pidana ini. Berdasarkan uraian tersebut, maka kejahatan penkhianatan terhadap negara mencangkup jenis-jenis kejahatan sebagai berikut.
1.      Makar terhadap kepala negara (Pasal 104)
2.      Makar untuk memasukkan Indonesia di bawah kekuasaan asing (pasal 106)
3.      Makar untuk menggulingkan pemerintahan (pasal 107)
4.      Pemberontakan (pasal 108)
5.      Permufakatan jahat dan atau penyertaan untuk melakukan kejahatan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 104.106,107 dan 108 KUHP Pidana
6.      Mengadakan hubungan dengan negara asing yang bermusuhan dengan indonesia (pasal 111)
7.      Mengadakan hubungan dengan negara asing dengan tujuan agar negara asing tersebut  membantu suatu penggulinggan terhadap pemerintah di Indonesia.
8.      Menyiarkan surat-surat rahasia (pasal 112-116)
9.      Kejahatan-kejahatan mengenai bangunan-bangunan pertahanan negara (pasal 117-120)
10.  Merugikan negara dalam perundingan diplomatik (pasal 121)
11.  Kejahatan yang biasanya dilakukan oleh mata-mata musuh (pasal 122-125)
12.  Menyembunyikan mata-mata musuh (pasal 126)
13.  Menipu dalam hal menjual barang-barang keperluan tentara
Sedangkan mengenai kejahatan lainnya disamping kejahatan diatas yang diatur diluar KUHP ialah  terorisme, kejahatan mengenai upaya penyebaran ajaran komunisme/Maxisme-Leninisme, serta kejahatan yang bertujuan untuk menghilangkan atau mengubah Pancasila sebdagai dasar negara. (Undang-undang No.27 Tahun 1999).
2.      Korupsi dan Penyuapan[41]
Dalam ketentuan alasan pemberhentian presiden pasal 7A UUD 1945 Pada kenyataannya juga dimasukkan alasan tindak pidana yaitu Korupsi dan penyuapan, hal tersebut didasarkan karena Korupsi dan penyuapan dapat dianggap sebagai tindak pidana yang sangat membahayakan kepentingan negara dan masyarakat luas apalagi kaitannya dengan ekonomi dan Pembangunan. Sejak tahun 1983 kurang lebih sudah dilaksanakan sekitar sepuluh Konvensi Internasional untuk membahas mengenai kejahatan Korupsi hal ini menunjukkan betapa berbahayanya kejahatan yang demikian, meskipun dalam tindak pidana korupsi pidana penjaranya berada di bawah lima tahun. Tindak pidana  Korupsi dalam Undang-undang ini mencangkup 3 kelompok :
pertama mengenai tindak pidana yang diatur secara umum dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) :
·         perbuatan yang secara hukum memperkaya diri endiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
·         perbuatan yang bertujuan untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukannya  yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dalam Undang-undang tindak pidana Korupsi
kedua, Tindak pidana korupsi yang sebelumnya adalah tindak pidana suap yang dilakukan terkait dengan jabatan pegawai negeri,hakim,advokat dan sebagainya yang diatur dalam KUHP ;jabatan penyelengaraan negara serta pemborong, ahli bangunan serta  pengawas pembangunan yang terkait dengan kepntingan umum dan kepentingan tentara nasional Indonesia.
Ketiga, tindak pidana lainnya yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi seperti perbuatan  yang dilakukan dengan sengaja mencegah. Merintangi atau menggagalkan secara langsung maupun tidak langsung penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di  pengadilan terhadap tersangka, terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi, termasuk juga memberikan keterangan yang tidak benar atau tidak mau memberikan keterangan oleh tersangka saksi, saksi ahli maupun petugas bank terkait  dengan proses pemeriksaan tindak pidana korupsi
3.      Tindak Pidana berat lainnya serta perbuatan tercela
Undang-undang Dasar 1945 Tidak memberikan definisi yang jelas mengenai apa yang dimaksud denga tindak pidana yang lainnya. Bila kita merujuk pada ketentuan pada pasal 10 ayat (3) UU No 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan. Tindak pidana berat lainnya dapar diartikan sebagai tindak pidana yang ancaman hukumannya berupa pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.  Jadi kualifikasi suatu tindak pidana berat yang dapat dijadikan alasan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dibatasi oleh lamanya masa pidana penjara yang diancamkan atas perbuatan tersebut.
Sedangkan mengenai “Perbuatan tercela” memiliki makna yang luas yaitu mencangkup baik pelanggaran hukum pidana di luar pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan serta tindak pidana lainnya, termasuk pelanggaran nilai-nilai agama, moral maupun adat. Serta pelanggaran hukum lainnya yang merendahkan martabat presiden[42]

KESIMPULAN DAN SARAN

A.    KESIMPULAN

Mekanisme Pemberhentian Eksekuti dalam hal ini Presiden Dalam masa jabatan ternyata sangat dipengaruhi dengan bagaimana sistem pemerintahan yang dianut. Dalam sistem ketatanegaraan indonesia mekanisme Pemberhentian Presiden sebelum dan sesudah Perubahan UUD 1945 mempunyai perbedaan yang cukup mendasar dalam mekanisme sebelum Perubahan UUD 1945 mekanisme pemberhentian Presiden sangat bernuasa Politik sehingga Pemberhentian Presiden lebih dipengaruhi oleh Dinamika politik. Apalagi dengan Alasan Pemberhentian Presiden yakni "Melanggar haluan negara" sangat multitafsir dan rancu sehingga mekanisme Pertanggungjawabannya ialah Pertanggungjawaban Politik bukan Pertanggung jawaban Hukum. Berbeda dengan mekanisme Pemberhentian Presiden Pasca Perubahan UUD 1945 yang berkonotasi "Rechtmatige" serta diatur secara rinci dan limitatif. Alasan pemberhentian Presiden berdasarkan pasal 7A UUD 1945 dibagi menjadi dua , pertama terkait dengan Pelanggaran hukum seperti Pengkhianatan negara, Korupsi, penyuapan, Tindak pidana berat lainnya dan perbuatan tercela, kedua terkait bilamana Presiden tidak lagi memenuhi syarat. Secara keseluruhan Pergeseran alasan perberhentian Presiden dapat dibilang merupakan perubahan yang sangat baik dalam sistem ketatanegaraan kita
B. SARAN
jikalau kita menginginkan sebuah sistem Presidensial yang murni maka mau tidak mau jalan-jalan satunya ialah mengadakan amandemen UUD 1945 dengan jalan memurnikan pemisahan yang jelas antara eksekutif dan legislatif sedangkan mengenai pola pemberhentian presiden Perlu ada ketentuan Baik dalam UU maupun Peraturan yang lebih rendah yg secara khusus mengatur mengenai mekanisme Pemberhentian. dalam masa jabatannya serta sinkronisasi secara horizontal maupun vertikal sehingga Pengaturan mengenai Pemberhentian Presiden dapat Terintegrasi.

DAFTAR PUSTAKA
BUKU
 Asshidiqie, Jimly, 2005, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi,Jakarta:KonstitusiPress
Isra, Saldi, 2010, Pergeseran Fungsi Legislasi “Menguatnya Model Legislasi Parlementer dalam Sitem Presidensiil Indonesia”, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Mawardi, Arsyad,2013, Pengawasan dan Keseimbangan antara DPR dan Presiden dalam Sistem Ketatanegaraan “tinjauan Normatif, Empiris,Historis dan Komprehensif”, Semarang : raSAIL media Group
Mulyosudarmo, Suwoto 1997, Peralihan Kekuasaan “Kajian Teoritis dan Yuridis terhadap Pidato Nawaksara” Jakarta : Gramedia Pustaka Utama
Moelyatno, 2008, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta : Rineka Cipta
Sulardi, 2012,  Menuju Sistem Presidensiil Murni, Malang : Penerbit Setara Press
Redaksi Sinar Grafika, 2015, UUD 1945 Hasil Amademen dan Proses Amandemen UUD 1945 secara Lengkap, Jakarta : Sinar Grafika,
Zoelva,Hamdan, Impeachment Presiden “alasan tindak pidana dalam pemberhentian presiden menurut UUD 1945” Jakarta : Konstitusi Press.

JURNAL
Marzuki, Laica,2010 Pemakzulan Presiden/Wakil Presiden menurut UUD 1945, Jurnal Konstitusi, Tahun 2010 Vol VII No.1, Jakarta : Mahkamah Konstitusi Negara Republik Indonesia.
Nadir, 2012, Dilematika putusan mahkamah konstitusi vs kekuatan politik dalam impeachment presiden,  dalam Jurnal Konstitusi, Volume IX, Nomor 2, Juni 2012, Jakarta : Mahkamah Konstitusi Negara Republik Indonesia
Lisdhani Hamdan Siregar, 2012, Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Pemakzulan Presiden dan/atau wakil Presiden  Di Indonesia, dalam Jurnal Konstitusi Tahun 2012 Vol IX No.2 Jakarta : Mahkamah Konstitusi Negara Republik Indonesia
INTERNET
https://fristianhumalanggionline.wordpress.com/2012/05/06/pemberhentian-presiden-danatau-wakil-presiden-dalam-masa-jabatannya-menurut-sistem-ketatanegaraan-indonesia. diakses pada 16 April 2015


[1] Saldi Isra,2010, Pergeseran Fungsi Legislasi “Menguatnya Model Legislasi Parlementer dalam Sitem Presidensiil Indonesia”, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Hlm :23
[2]ibid. Hlm :24
[3] Sulardi, 2012,  Menuju Sistem Presidensiil Murni, Malang : Penerbit Setara Press Hlm :45-46
[4] Saldi Isra, Loc cit.
[5] Arsyad Mawardi,2013, Pengawasan dan Keseimbangan antara DPR dan Presiden dalam Sistem Ketatanegaraan “tinjauan Normatif, Empiris,Historis dan Komprehensif”, Semarang: raSAIL media Group hlm : 88.
[6] Saldi Isra, Opcit hlm :38-39
[7] Sulardi :hlm:17
[8] Ibid.
[9] Ibid hlm : 17-18
[10] Ibid hlm :22
[11] Saldi Isra, opcit hlm :42
[12] Ibid hlm :66-67
[13] Laica Marzuki,2010 Pemakzulan Presiden/Wakil Presiden menurut UUD 1945, Jurnal Konstitusi, Tahun 2010 Vol VII No.1, Jakarta : Mahkamah Konstitusi Negara Republik Indonesia, hlm : 25
[14] Ibid.
[15] Saldi Isra, Opcit hlm :49
[16] Suwoto Mulyosudarmo, 1997, Peralihan Kekuasaan “Kajian Teoritis dan Yuridis terhadap Pidato Nawaksara” Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, Hlm : 26
[17] Saldi Isra,Opcit hlm : 51
[18] Ibid.
[19] Redaksi Sinar Grafika, 2015, UUD 1945 Hasil Amademen dan Proses Amandemen UUD 1945 secara Lengkap, Jakarta : Sinar Grafika, hlm 67-69
[20] Suwoto Mulyosudarmo, Opcit hlm :35
[21] Saldi Isra, Opcit Hlm :52
[22] Ibid.
[23] Sulardi, Opcit hlm :60
[24] Ibid hlm :68
[25] Ibid hlm :74-75
[26] Ibid hlm :84
[27] Hamdan Zoelva, Impeachment Presiden “alasan tindak pidana dalam pemberhentian presiden menurut UUD 1945”, Jakarta : Kontitusi Press, hlm :5-6
[28]Jimly Asshidiqie, 2005, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi,Jakarta:KonstitusiPress hlm:62
[29] Hamdan Zoelva, Opcit hlm: 90-91
[30] Pasal 7 Ketetapan MPR No III tahun 1978
(1).  Dewan Perwakilan Rakyat yang seluruh Anggotanya adalah Anggota Majelis berkewajiban senantiasa mengawasi tindakan-tindakan Presiden dalam rangka pelaksanaan Haluan Negara. 
(2).  Apabila Dewan Perwakilan Rakyat menganggap Presiden sungguh melanggar Haluan Negara, maka Dewan Perwakilan Rakyat menyampaikan memorandum untuk mengingatkan Presiden.
(3).  Apabila dalam waktu tiga bulan Presiden tidak memperhatikan memorandum Dewan Perwakilan Rakyat tersebut pada ayat (2) pasal ini, maka Dewan Perwakilan Rakyat menyampaikanmemorandum yang kedua.
(4).  Apabila dalam waktu satu bulan memorandum yang kedua tersebut pada ayat (3) pasal ini,tidak diindahkan oleh Presiden, maka Dewan Perwakilan Rakyat dapat meminta Majelis mengadakan Sidang istimewa untuk meminta pertanggungan jawab Presiden.
[31] Hamdan zoelva opcit hlm: 91
[32] Ibid hlm : 72
[33] Ibid Hlm :73
[34] Sulardi Opcit hlm : 145-146
[35] Lisdhani Hamdan Siregar, 2012, Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Pemakzulan Presiden dan/atau wakil Presiden  Di Indonesia, dalam Jurnal Konstitusi Tahun 2012 Vol IX No.2 Jakarta : Mahkamah Konstitusi Negara Republik Indonesia Hlm : 291
[36] Nadir, 2012, Dilematika putusan mahkamah konstitusi vs kekuatan politik dalam impeachment presiden,  dalam Jurnal Konstitusi, Volume IX, Nomor 2, Juni 2012, Jakarta : Mahkamah Konstitusi Negara Republik Indonesia hlm :337

[37] Laica marzuki Opcit, hlm : 17.
[38] Hamdan zoelva, Op Cit hlm : 16-17
[39] Moelyatno, 2008, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta : Rineka Cipta Hlm :59
[40] Hamdan zoelva, op cit hlm :53-56
[41] ibid hlm :58-61.
[42] Ibid hlm 69